Senin, 08 Mei 2017

Tampung Tantra

MENGGALI KEMBALI MAKNA PEMERINTAHAN TAMPUNG TANTRA

Oleh,

Jenuard Mosses Teguh Nelwan

Terbatasnya literasi yang membahas tentang pemerintahan tampung tantra, membuat istilah ini tidak terlalu poluler di kalangan masyarakat. Hanya segelintir orang saja yang dapat memahami substansi ini termasuk di dalamnya kalangan akademisi, itupun hanya sedikit dari ratusan pakar yang berlatarbelakang ilmu pemerintahan (bestuurnswetenschap) [1]. Kelangkaan inilah membuat ketidakmampuan para mahasiswa profesi kepamongprajaan bahkan praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri sekalipun yang berada dalam naungan institusi pemerintahan dalam negeri, sulit untuk menerjemahkan sekaligus mendeskripsikan makna hakiki dari pemerintahan tampung tantra. Akan tetapi, dalam tulisan ini penulis hendak mengemukakan beberapa pandangan terkait dengan pemerintahan tampung tantra.

Pemerintahan tampung tantra terdiri dari tiga kata yaitu : pemerintahan, tampung dan tantra. Dalam hal kata pemerintahan, berasal dari suku kata “perintah”. Menurut Bayu Surianingrat (1992:9), kata perintah berarti :
  1. Adanya “keharusan”, menunjukan kewajiban untuk melaksanakan apa yang diperintahkan;
  2. Adanya dua pihak yaitu yang memberi dan yang menerima perintah;
  3. Adanya hubungan fungsional antara yang memberi dan yang menerima perintah;
  4. Adanya wewenang atau kekuasaan untuk memberi perintah.
Sejalan dengan itu juga, Taliziduhu Ndaraha (2005:140-141) mendefinisikan kata Kepemerintahan, terdiri atas kata :

PEMERINTAH :
Bhs. Inggris   : Government berasal dari kata to govern artinya memerintah.
Bhs. latin       : Gubernare artinya gerik kybernan, steer, kemudi kapal)
Bhs. Belanda : Bestuur diartikan sebagai mencangkup seluruh kekuasaan  

Oleh karena itu Pemerintah adalah sistem yang menjalankan wewenang dan kekuasaan atau sistem yang menjalankan perintah dari yang memerintah, sedangkan pemerintahan adalah proses, cara perbuatan memerintah. Sehingga kepemerintahan adalah segala sesuatu yang menyangkut keadaan pemerintah. 
       Selanjutnya adalah kata tampung tantra. Secara etimologi, tampung bermakna menerima, mengumpulkan, menadah, mengurus. Sedangkan tantra berasal dari bahasa sansekerta yang berarti prinsip, sistem, doktrin. Berdasarkan penjelasan diatas maka secara sederhana kita memahami, pemerintahan tampung tantra adalah sistem yang menampung suatu urusan yang tidak dikerjakan oleh pemerintah. Artinya terjadi kekosongan pemerintahan, sehingga pemerintahan tampung tantra sama halnya dengan asas Vrij Bestuur [2]. Vrij Bestuur berasal dari bahasa Belanda Vrij artinya kosong, sedangkan Bestuur bermakna kekuasaan pemerintahan. Oleh karena itu secara umum dapat disimpulkan bahwa Pemerintahan tampung tantra/Vrij Bestuur adalah kewenangan/urusan yang tidak termasuk dalam asas desentralisasi, sentralisasi dan tugas pembantuan (medebewind). Lantas yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apa yang menjadi urusan pemerintah ketika pekerjaan itu ada tetapi aparat pelaksananya itu tidak ada ?. Contoh sederhananya seperti ini, di suatu tempat misalnya Kecamatan Airmadidi terjadi ketidakhadiran petugas-petugas dari dinas kebersihan Kabupaten Minahasa Utara, sehingga terjadi penumpukan-penumpukan sampah dibeberapa tempat, lingkungan masyarakat yang kotor, dan terjadi pencemaran limbah pada air  sungai, hal tersebut terjadi karena aparat pelaksana dari Dinas Kebersihan itu tidak ada/kosong. Oleh karena itu, apakah sampah-sampah tersebut hanya dibiarkan begitu saja, otomatis walaupun itu bukan merupakan tanggungjawab dari petugas/aparat kecamatan tetapi pekerjaan tersebut dibebankan kepada pemerintah kecamatan.
Dalam konteks pemerintahan daerah, landasan regulasi yang dapat dijadikan sebagai acuan adalah UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan perundang-undangan tersebut, mengatur cakupan tugas dan fungsi dari pemerintah. Pandangan Soewargono dalam Aziz Haily (2009:3) [3] yang semula fungsi pemerintahan itu hanya terbatas, yaitu menciptakan keamanan dan ketertiban (staat en orde) untuk melindungi rakyat, berkembang agar juga berfungsi mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Pandangan tersebut juga dispesifikan oleh mantan rektor Institut Ilmu Pemerintahan yaitu Ryaas Rasyid (2002:19) yang menyimpulkan tugas pokok pemerintah negara modern atau empat fungsi utama yang hakiki yaitu pengaturan, pelayanan, pembangunana dan pemberdayaan.
Atas dasar regulasi tersebut maka, penulis dapat menjelaskan bidang tugas dari tampung tantra, serta tantra, dan swatantra. Serta tantra atau sering disebut medebewind/tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desadari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu [4]. Konsep tersebut memuat dua unsur pokok, yaitu : tugas yang diberikan kepada pemerintah daerah dan kewajiban untuk mempertanggunjawabkan kepada siapa yang menugaskannya [5]. Dalam pandangan E. Koswara (2012:71) ada tiga hal penting yang perlu disimak dan memahami serta tantra, yaitu :
  1. Apakah yang dimaksud dengan “daerah”, apakah daerah provinsi yang berstatus sebagai daerah otonom terbatas tidak mungkin bisa menerima tugas pembantuan dari pemerintah atau memberikan tugas pembantuan kepada daerah kabupaten/kota dan desa;
  2. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai hak otonomi asli (indigenous autonomy) berdasarkan hak-hak  tradisionalnya yang diakui oleh negara sepanjang amsih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi tidak mungkin serta tantra diberikan kepada desa, serta tantra hanya diberikan kepada daerah-daerah otonom  yang mempunyai kewenangan otonomi penuh  seperti kabupaten/kota.
  3. Pemberian “serta tantra” yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dari pemberi serta tantra adalah tidak tepat dengan konsep “serta tantra”. Dalam konsep serta tantra yang diperlukan hanyalah pembiayaan, sedangkan sarana dan prasarana serta personil menggunakan alat-alat dan perangkat pemerintah daerah yang 
  4. diberi serta tantra. Sebab kalau semua pembiayaan, peralatan dan personil diberikan oleh yang menugaskan tugas pembantuan, itu lebih mirip dengan konsep dekonsentrasi.                                                                                                                                              
        Adapun swatantra bermakna etimologi sebagai asas melakukan sendiri. Swa artinya sendiri, sedangkan tantra sama halnya dengan yang dijelaskan diatas sehingga dapat dikatakan bahwa swatantra adalah daerah melakukan sendiri apa yang menjadi urusannya. Inilah yang menjadi dasar otonomi daerah karena swatantra dapat diartikan sebagai daerah otonom. Daerah otonom merupakan selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sementara kewenangan dari daerah otonom berasal dari asas desentralisasi. Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi. 
Oleh karena itu, cakupan dalam bidang tugas dari tampung tantra, serta tantra, dan swatantra termuat dalam No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah,  Bab IV UU mengenai urusan pemerintahan. Dari UU tersebut kita dapat memperoleh informasi bahwa, urusan pemerintahan terdiri dari tiga bagian penting, yaitu : Urusan absolut (urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat), urusan konkuren (urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota), serta urusan pemerintahan umum (urusan pemeritnahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan).
        Pemberlakuan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta merta telah menciptakan ketidakpastian dibeberapa bidang layanan publik yang kewenangannya ditarik dari kabupaten/kota. Tiba-tiba saja seluruh proses perizinan di sektor pertambangan, kehutanan dan kelautan yang selama ini dikelola pemerintah kabupaten/kota harus dihentikan. Selajutnya juga pembinaan terhadap sekolah-sekolah SMA dan SMK bersama para gurunya serta pengawasan atas tenaga kerja terlepas dari pemerintah kabupaten/kota.
Melihat kondisi saat ini, betapa sejumlah Propinsi kewalahan memikirkan bagaimana mengelola tambahan personil yang jumlahnya ribuan dari dinas-dinas yang dihapuskan di seluruh kabupaten/kota dalam propinsi itu. Bagaimana menyediakan ruang kantor untuk menampung mereka yang harus masuk ke dinas propinsi lengkap dengan pemindahan seluruh arsip dan dokumen-dokumen yang ada. Bagaimana menyediakan anggaran untuk tunjangan mereka yang selama ini ditanggung oleh APBD kabupaten/kota, bagaimana melanjutkan progran sekolah SMU dan SMK gratis yang selama ini menjadi beban APBD kabupaten/kota, bagaimana melayani permohonan ijin usaha, pembinaan, dan pengawasan atas seluruh operasi bidang pertambangan, kelautan, kehutanan di seluruh wilayah propinsi.
Di kabupaten/kota sendiri terjadi kebingungan tentang apa yang harus mereka lakukan dalam fase transisi. Sampai saat ini, menjelang 2 tahun berlakunya UU No.23 tahun 2014 belum lahir satu pun Peraturan Pemerintah yang dapat menjadi acuan pelaksanaannya. Terjadi kevakuman dan stagnansi yang panjang. Implementasi ke depan pun belum terjamin akan berlangsung mulus. Akan ada kelelahan dan komplain masyarakat yang selama ini cukup berurusan dengan pemerintah kabupaten/kota  di bidang-bidang layanan yang ditarik itu, karena harus melalui jalan panjang ke propinsi. Spirit otonomi yang diletakkan di kabupaten kota untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan, sudah dengan sendirinya hilang.
Bertolak dari deskripsi dan argumen yang disajikan secara singkat di atas, penulis sampai kepada kesimpulan sederhana bahwa UU No.23 tahun 2014 sepanjang menyangkut penarikan kewenangan dari kabupaten/kota adalah sebuah langkah yang keliru. UU ini tidak menyelesaikan masalah yang selama ini mungkin ada di daerah, tetapi justru menciptakan masalah baru. Oleh sebab itu, seharusnya Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan/uji materi (judicial review) yang dilakukan oleh asosiasi pemerintah kabupaten seluruh Indonesia (Apkasi) sebagaimana keterangan ahli Prof. Ryaas Rasyid,MA., Ph.D, pada tanggal 14 April 2016.



Catatan Kaki:
[1]  S. Pamudji. Dalam sebuah makalah yang berjudul “Pembahasan Atas Hubungan Ilmu Pemerintahan dengan Ilmu Administrasi Negara”. 
[2]  Asas ini memiliki perbedaan dengan Freies Ermessen. Secara sederhana kita memahami asas Vrij Bestuur itu seperti ini di mana pekerjaan itu ada tetapi aparat pelaksananya tidak ada. Sedangkan asas Freies Ermessen adalah pemerintah bebas mengurus dan menemukan inisiatif pekerjaan beru, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ataupun ketentuan-ketentuan lain yang berkenaan dengan norma suatu tempat.
[3]  Lihat, Haily Aziz. 2009. Pemantapan Proses Otonomi Daerah dam Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan. Sebuah orasi ilmiah, pengukuhan guru besar di Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Jakarta, 16 Juni 2009.
[4]  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, pasal 1 ayat (9)
[5]   Koswara E. 2012. Pemerintahan Daerah : Konfigurasi Politik Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dulu, Kini dan Tantangan Globalisasi. Jakarta : Yayasan Damandiri.


Daftar Pustaka

Buku
Koswara E. 2012. Pemerintahan Daerah : Konfigurasi Politik Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dulu, Kini dan Tantangan Globalisasi. Jakarta : Yayasan Damandiri.

Labolo Muhadam, dkk. 2015. Dialetika Ilmu Pemerintahan. Bogor : Ghalia Indonesia.

Ndraha Taliziduhu. 2005. Kybernologi Beberapa Konstruksi Utama. Tangerang : Sirao Credentia Center.

Rasyid Ryaas. 2002.  Menolak Resentralisasi Pemerintahan. Jakarta : Millenium Publisher.

Surianingrat Bayu. 1992. Mengenal Ilmu Pemerintahan. Jakarta : Rineka Cipta.


Orasi Ilmiah 

Haily Aziz. 2009. Pemantapan Proses Otonomi Daerah dam Evaluasi Penyelenggaraan PemerintahanSebuah orasi ilmiah, pengukuhan guru besar di Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Jakarta, 16 Juni 2009.


Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan 



Menggugat Superioritas Sistem Pengasuhan IPDN

MENGGUGAT SUPERIORITAS SISTEM PENGASUHAN IPDN [1]

Oleh,  Jenuard Mosses Teguh Nelwan [2]

“IPDN harus memproduksi magnanimous thought [3] setajam mungkin. 
Ingat ! 
Lebih baik jadi kepala ayam jantan (kecil tapi pekokok) 
ketimbang menjadi ekor sapi (besar, tetapi hanya pengusir lalat)”
 -Prof Dr. Taliziduhu Ndraha-

Gundull !!! Lari….. Jongkok….. Tiarap….. merayap punggung….. guling…. Siaappp, Grraaaakkkkkk…. kata-kata yang tidak asing lagi dalam telinga para praja, sebab melalui kata tersebut konon katanya dapat membentuk sikap dan mental untuk menjadikan praja lebih tertib dan berdisiplin. Memang sebagian orang dengan sejumlah argumentasi pro, setuju dengan pola pendidikan seperti itu. Akan tetapi kita juga tidak bisa menyalahkan dengan mereka yang memiliki segudang alasan untuk mengubah pola pendidikan yang terlalu berorientasi pada sistem sentralisasi orde baru.
Kita semua memang memaklumi pola pendidikan yang keras dari institusi yang didirikan oleh Ir. Soekarno di Malang yaitu APDN, karena situasi pada saat itu dianggap perlu ada kader-kader yang didik secara khusus selain untuk menggerakkan sistem pemerintahan juga dapat mengamankan situasi negara. Bahkan jauh sebelum itu, Ambtenar OSVIA yang dibentuk oleh Belanda juga telah didirikan untuk memperkuat kekuasaan Belanda di Indonesia melalui kaum elite pribumi. Pasti kita semua dapat membayangkan, pola pendidikan seperti apa yang dibangun oleh Negara yang memprakarsai tanam paksa di Indonesia. Sehingga sistem yang kejam, trengginas dan cenderung mematikan itu harus dipaksakan, dan sistem tersebut diwarisi sampai sekarang. Makanya jangan heran para jebolan APDN, IIP dan STPDN sebagian besar orientasi berpikir mereka itu harus dilayani, layaknya seorang Pangrehpraja [4]

Zaman telah berubah tetapi tradisi tidak dapat dihilangkan, itu merupakan suatu doktrin yang tidak relevan. Era orde baru memang kita bisa menghadapi masyarakat dengan tendangan dan pukulan sampai-sampai ada yang membawa pentongan. Tetapi diera reformasi itu semua telah berubah, hak untuk berbicara dan memprakarsai itu semakin bebas. kita tidak dapat lagi menggunakan cara-cara kekerasan untuk menghadapi aksi damai jilid I, II, III dst, melainkan dengan cara-cara demokrasi. Masyarakat diajak berdiskusi, musyawarah untuk mencapai suatu kesepakatan agar keduanya saling menguntungkan, bahkan para ahli sampai mengajak kita untuk beradu gagasan sehingga menimbulkan perdebatan dalam mempertahankan suatu kebenaran.
Pertanyaanya bagaimana jika praja IPDN saat ini tidak dibekali dan dilatih cara-cara yang demokratis tersebut ? artinya berbicara dan mengungkapkan pendapat secara konseptual. Apalah jadinya ketika IPDN sebagai lembaga pendidikan yang mencetak kader pamongpraja (Bayu Sarianingrat, 1992; Lexie Giroth & Jacson Giroth, 1998) hanya memiliki keahlian untuk membuat kopi saja, kesigapan ketika disuruh untuk memfoto copy, merapihkan meja pimpinan juga sebagai pengatur kabel dalam acara-acara besar kenegaraan maupun daerah. Memang kita dituntut untuk memiliki sikap loyalitas terhadap pimpinan, saya pikir itu merupakan hal yang fundamental dalam sistem birokrasi weberian.  Akan tetapi sistem seperti itu sudah mulai luntur sebagaimana pandangan Warren Bennis [5].
Pola pendidikan yang menganut tritunggal terpusat yaitu pengajaran, pelatihan dan pengasuhan (Jarlatsuh), sebagai amanat dari pasal 376 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemeritahan Daerah, memang sangat penting. Akan tetapi dari ketiga aspek tersebut, seharusnya tidak ada yang menonjol melainkan ketiga pola tersebut adalah setara. Praja wajib diberikan pengetahuan, keterampilan dan juga sikap dan mental yang kuat. Realitasnya saat ini, pola tritunggal terpusat didominasi oleh kegiatan pengasuhan, dengan alasan kalian tidak perlu pintar dan terampil karena yang dibutuhkan di lapangan adalah sikap dan kerespekan. Sungguh itu merupakan suatu alasan yang keji, sesat dan menyesatkan, tidak realitis dan terpuji. Atas alasan itulah maka banyak sekali mereka yang terperangkap sehingga tidak bisa bersaing dengan sistem rekrutmen secara terbuka. Perlu juga saya tekankan bahwa, orang yang pintar tanpa memiliki etika yang baik tidak akan bertumbuh subur dalam sistem birokrasi yang semakin dinamis. Oleh karena itu, sistem tri tunggal terpusat harus dijalankan secara seimbang agar dapat menciptakan kader-kader pamong praja yang selain memiliki etika yang baik juga mampu bersaing dari segi intelektualitas. Itulah sebabnya dengan intelektual yang cukup, mereka mampu mengisahkan tugas dan tanggungjawabnya yang mulia ini dalam suatu tulisan yang penuh makna.
Membaca suatu catatan yang dibuat dalam sebuah buku dan ditulis oleh seorang purna praja dari Serui, membuat hati kecil ini ingin menangis. Membayangkan bagaimana seorang lurah yang mengabdi, tidur disamping kandang sapi dan beralaskan koran, tidak memiliki listrik dan rawan akan konflik sosial. Kisah ini memang mengingatkan saya akan kisah-kisah yang pernah dialami oleh orang-orang yang saat ini telah menjadi orang penting di negeri tercinta. Ryaas Rasyid misalnya, selepas lulus dari APDN beliau ditugaskan untuk menjadi seorang lurah dan mengisahkan bagaimana ia harus meleraikan konflik sertamengangkat mayat yang masih basah akibat tawuran antar kampung. Selain itu dalam buku “Untung Sabut Muhammad Sani” seorang purna KDC yang melanjutkan pendidikannya di APDN Pekanbaru, memulai karirnya dengan berdiri di depan pintu sambil melihat tamu keluar masuk dan membuat amplop dari kertas yang tidak terpakai.
Atas dasar itu maka peneliti berkesimpulan bahwa orang besar mengawali perjalanan hidupnya dengan suatu tantangan yang berat dan menegangkan sehingga sedikit sulit untuk dilalui. Atas dasar itulah maka Prof. Suradinata selalu menyombongkan kepada kita bahwa beliau bisa jadi seperti ini karena pernah merasakan bagaimana hidup untuk melayani masyarakat di pedalaman Papua. Pengalaman itulah menjadi alasan yang kuat untuk mempertimbangkan pola penempatan lulusan IPDN secara acak di seluruh wilayah NKRI terlebih di daerah pedalaman, pulau terluar dan perbatasan.
Dalam menjalankan itu semua maka tidak cukup hanya memainkan seni pemerintahannya saja, melainkan sedikit memerlukan ilmu pengetahuan untuk mensiasati serta memikirkan bagaimana mempertahankan hidup sesuai dengan situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan sekalipun. Oleh karena itu dianggap perlu mereformasi sistem pengasuhan sentralistik yang cenderung menguatkan seninya saja. Pemerintahan itu adalah seni dan ilmu (Van Poltje, 1942), itulah sebabnya mengapa Ryaas Rasyid pandai memainkan perannya, disatu sisi ia merupakan akademisi tetapi dilain sisi beliau juga merupakan birokrat yang handal. 
Tarik menarik sistem pendidikan yang mengedepankan antara ilmu dan seni dalam pemerintahan, masih belum menemukan sebuah solusi. Dalam pandangan saya seharusnya, saya setuju dengan pendapat Labolo (2016:6) yang mengatakan bahwa “kampus daerah silahkan diserahkan kepada Pemerintah Daerah serta dikelola dan dikembangkan oleh Pemda masing-masing”. Dari situlah maka muncul suatu pola pendidikan kepamongprajaan yang asimetris di Indonesia. Pemerintah Papua misalnya cukup membutuhkan mental yang kuat saja dalam menghadapi masyarakat yang selalu demo dan anarkis, tetapi berbeda dengan pendikan oleh Pemda DKI Jakarta yang lebih menekankan pada kerangka konseptual untuk memperoleh suatu inovasi-inovasi Pemerintahan. Menyamaratakan pola pendidikan pengasuhan hanya akan menimbulkan kegaduhan yang berkepanjangan, saling klaim bahwa pola ini sangat penting tidak akan pernah mencapai titik temu. Kecuali dengan menerapkan sistem asimetris, sebab akan menjadi suatu bom waktu ketika kita hanya mempersiapkan sikap dan mental saja kemudian kita ditempatkan di Provinsi DKI Jakarta yang penuh dengan persaingan akademik, begitu juga sebaliknya.
Dengan cara inilah saya meyakini bahwa, praja Cilandak tidak akan disebutkan lagi perek dan monyet akibat memiliki daya kritis yang mengancam sistem yang sudah lama terbangun. Biarlah mereka dengan kebanggan sikap dan mental yang kuat akan mengarungi lautan dunia birokrasi yang kejam. Kita lihat siapa yang akan tergilas.

[1] Makalah ini disajikan dalam diskusi platos berkenaan dengan bedah buku berjudul “Bhakti Karya   
      Pamong Praja Serui”. Sabtu, 8 April 2017
[2] Praja IPDN tingkat IV di Kampus Cilandak, Jakarta
[3] Merupakan salah satu dari kedua belas nilai Kepamongprajaan. Menurut Ndraha (2008:2-5).  
      Magnanimous Througth artinya pemikiran murah hati, sehingga mengamong diartikan sebagai  
      suatu rekonstruksi pemikiran yang besar, pemikiran yang memiliki kekuata menerobos zaman  
      yang terbentuk berdasarkan kemerdekaan berpikir dan mengeluarkan buah pikiran yang dapat  
      diwariskan menjadi pelajaran bagi ribuan generasi ditahun yang akan datang.
[4]  Lihat Labolo, 2016:2. Makna Pangreh menunjuk pada kekuatan penguasa atau memiliki derajat  
      kekuasaan tertentu. Sehingga orientasi mereka identitas atas kekuassan itu harus dilayani oleh  
      masyarakat.
[5] Dalam tulisannya pada majalah Personel Administrastion (1967) bahwa 25-50 tahun kedepan 
      (dihitung semenjak tulisan itu) kita bersama-sama akan menyaksikan jatuhnya birokrasi Weber 
      dan diganti dengan sistem sosial yang baru sesuai dengan harapan masyarakat pada abad ke-20.

Sumber Bacaan : 
Bennis Warren. 1967. Organizational of the Future. Dallas Natemayer, Walter E., (edt) Personnel  
                         Administration,  International Personnel Management, Washington DC. 

Giroth Lexie & Giroth Jacson. 1998. Kepamongprajaan. Rineka Cipta : Jakarta. 

Labolo Muhadam. 2014. Memahami Ilmu Pemerintahan. Raja Grafindo Persada : Jakarta. N

Draha Taliziduhu. 2007. Kybernology Sebuah Charta Pembaharuan. Sirao Credentia Center :  
                         Tangerang. 

 _______________. 2008. Kybernologi Sebuah Metamorphosis. Sirao Credentia Center : Tangerang. 

Surianingrat Bayu. 1992. Mengenal Ilmu Pemerintahan. Rineka Cipta : Jakarta.

Rabu, 19 Oktober 2016

Quo Vadis IPDN Kampus Jakarta

QUO VADIS PRAJA INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI (IPDN) KAMPUS CILANDAK


“IPDN harus memproduksi magnanimous thought setajam mungkin.
Ingat !
Lebih baik jadi kepala ayam jantan (kecil tapi pekokok)
ketimbang menjadi ekor sapi (besar, tetapi hanya pengusir lalat)”
-Prof Dr. Taliziduhu Ndraha-

Pemindahan praja IPDN kampus Cilandak ke Jatinangor, merupakan suatu isu hangat yang masih menjadi perdebatan di kalangan pucuk pimpinan lembaga kedinasan tersebut. Pasalnya isu ini telah mencuat ke permukaan sehingga membuat para praja IPDN kampus Cilandak seakan menikmati bait pertama lagu “kisah kasih di sekolah” yaitu resah dan gelisah serta bertanya-tanya apakah benar, kita akan direlokasikan ke lembah manglayang tempat dimana kita diajar, dilatih dan dibina pertama kali menikmati pendidikan di IPDN ?. Tentunya dengan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh kampus Cilandak, menjadi pertimbangan dalam perumusan kebijakan (agenda setting) atas isu ini. Adapun alasan mendasar yang menjadi pertimbangan dalam formulasi kebijakan yaitu berkurangnya kuota penerimaan praja IPDN dua tahun terakhir, justru kita  memandang bahwa ini merupakan suatu awal yang baik dalam menjalankan pola pendidikan  yang efektif dan efisien. Mungkin saja segelintir orang memandang bahwa berkurangnya kuota perimaan calon praja akan menutup pos-pos anggaran sehingga saku kanan mereka menjadi kering, tidak seperti dulu lagi. Argumen seolah-olah praja yang berada kampus Cilandak itu tidak disiplin adalah sesat dan menyesatkan, tidak realistis, dan palsu. Buktinya dua tahun terakhir ini hampir tidak ada praja kampus Cilandak yang dijatuhi pelanggaran disiplin berat, berbeda halnya dengan kampus  disana yang kurang lebih 25 praja dari segala tingkatan diberhentikan, turun tingkat ataupun mendapat pengurangan nilai pengasuhan. Saya memandang bahwa praja kampus Cilandak mampu berpikir secara rasional, realistis dan komprehensif, tahu membedakan mana buruk dan baik, tindakan menyenangkan ataupun menyusahkan karena kami diibaratkan sebagai hasil perasan santan yang pertama (Dr. Margaretha Rumbekwan, 2016). Artinya apa, mereka yang beruntung mengenyam pendidikan di kampus ini ialah mereka yang memiliki nilai lebih ditinjau dari aspek emosional, etika, estetika dan akademika. Itulah sebabnya praja kampus Cilandak dengan idealisme keilmuan yang tinggi, seakan menunda relokasi ini dengan segundang alasan yang sebagai garansinya, mereka bertarung pada sejumlah argumentasi pro dan kontra. Akan tetapi, sebelum kita memahami lebih dalam, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu asal muasal adanya IPDN kampus Cilandak.
Dikeluarkannya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang mengatur bahwa suatu departemen tidak boleh memiliki dua atau lebih perguruan tinggi dalam menyelenggarakan keilmuan yang sama, mendorong Departemen Dalam Negeri (Depdagri) untuk mengintegrasikan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) ke dalam Institut Ilmu Pemerintahan (IIP). Usaha pengintegrasiaan STPDN kedalam IIP secara intensif dan terprogram sejak tahun 2003, akan tetapi secara de jure diakui pada tahun 2004 melalui Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2004 tentang Penggabungan STPDN ke dalam IIP. Konsekuensi terpenting dari hal itu adalah nomenklatur dari kedua lembaga tersebut kemudian digabung dengan nama baru yaitu Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Dengan adanya kewenangan delegir dalam pembentukan peratuan perundang-undangan maka Kepres tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri 43 Tahun 2005 tentang Statuta IPDN. Akan tetapi pengaturan melalui Permendagri tersebut tidak secara konsisten dilaksanakan karena adanya keragu-raguan dalam proses pengelolaan lembaga baru tersebut termasuk di dalamnya tumpang tindih proses administrasi. Semestinya jika para pengambil keputusan itu konsisten dengan keppres diatas, satu-satunya organisasi yang masih hidup secara normatif sebagai penyelenggara pendidikan kedinasan di lingkungan Depdagri hanyalah IIP dengan nama baru IPDN dengan pusat pengendaliannya berada di Jakarta (Muhadam Labolo, 2014:30). Implikasi terhadap hal itu seluruh aset yang dimiliki oleh IIP dan STPDN secara riil telah menjadi milik IPDN.
Seiring berjalannya waktu, IPDN yang masih berumur 3 tahun harus menerima tekanan dari seluruh lapisan masyarakat, pasca kematian seorang Madya Praja asal Sulawesi Utara yaitu Clif Muntu. Kematian yang kotroversial itu menjadikan pejabat negeri ini menjadi geram dengan tuntutan supaya IPDN dibubarkan. Akan tetapi Presiden Republik Indonesia pada saat itu Susilo Bambang Yudhoyono mengambil sikap yang bijak dengan cara membentuk tim yang diketuai oleh Prof. Ryaas Rasyid (Mantan Rektor IIP) untuk melalukan evaluasi. Serentetan dengan itu maka, Presiden Republik Indonesia pada tanggal 9 April 2007 mengeluarkan kebijakan untuk segera dilakukan pembenahan dalam membangun budaya organisasi yang baru di lingkungan IPDN, dengan ketetapan tidak ada penerimaan calon praja IPDN dalam kurun waktu satu tahun. Kebijakan Presiden inipun memperoleh dukungan dari anggota DPR-RI. Maka amanat Perpres Nomor 1 tahun 2009, Pendidikan tinggi kepamongprajaan selain diselenggarakan di kampus pusat Jatinangor, serta kampus di Cilandak Jakarta, juga diselenggarakan di beberapa kampus daerah yang menyelenggarakan program studi tertentu sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Oleh sebab itu, relokasi praja IPDN kampus Cilandak bagi saya melanggar aturan, melanggar aturan merupakan musuh bebuyutan dari slogan revolusi mental. Akankah kita tetap direlokasi ? perlu dipertanyakan kembali sejauh mana semangat revolusi mental ini.
Kembali kedalam konteks pembahasan kita, terlepas dari pola pendidikan yang menganut tritunggal terpusat yaitu pengajaran, pelatihan dan pengasuhan (Jarlatsuh), sebagai amanat dari pasal 376 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemeritahan Daerah. Apalah jadinya ketika IPDN sebagai lembaga pendidikan yang mencetak kader pamongpraja (Bayu Sarianingrat, 1992; Lexie Giroth & Jacson Giroth, 1998) hanya memiliki keahlian untuk membuat kopi, merapihkan meja pimpinan juga sebagai pengatur kabel dalam acara-acara besar kenegaraan maupun daerah. Memang kita dituntut untuk memiliki sikap loyalitas terhadap pimpinan, saya pikir itu merupakan hal yang fundamental dalam sistem birokrasi weberian. Akan tetapi sistem seperti itu sudah mulai luntur sebagaimana pandangan Warren Bennis yang dalam tulisannya pada majalah Personel Administrastion (1967) bahwa 25-50 tahun kedepan (dihitung semenjak tulisan itu) kita bersama-sama akan menyaksikan jatuhnya birokrasi Weber dan diganti dengan sistem sosial yang baru sesuai dengan harapan masyarakat pada abad ke-20. Benar adanya diera reformasi saat ini, masyarakat mendesak untuk melakukan reformasi birokrasi sehingga di era kepemimpinan Presiden SBY dibuatlah suatu kebijakan yang dinamakan Open Bidding. Kebijakan ini bertujuan untuk mencari aparatur sipil negara yang tidak hanya memiliki otot tetapi juga otak, otak yang memiliki kemampuan dalam tataran pengambilan kebijakan. Maka dari itu perlu disiapkan kader yang mampu berpikir secara komprehensif, dan jangan lupa persiapan ini tidak dilakukan dengan kegiatan pengasuhan.
Kegiatan pengasuhan di kampus Jatinangor menjadi alasan mutlak para praja ketika mereka tertidur di kelas ataupun terlambat masuk kelas. Itulah sebabnya, para dosen mengeluh termasuk mantan kepala Arsip Nasional (Moch. Asichin) akan tetapi tidak hanya beliau, dosen senior seperti Muhadam Labolo juga menemukan adanya praja yang membawa kipas angin kedalam ruang kuliah.  Apa artinya itu, secara logika praja tidak akan mungkin membawa kipas angin, jika ruang belajar mereka itu dingin dengan suasana belajar yang nyaman. Hal-hal semacam itulah justru yang harus menjadi perhatian pucuk pimpinan lembaga kedinasan ini, bukan semata-mata sirik terhadap pola pendidikan di kampus Cilandak yang penuh suasana keilmuan. Sehingga tidak heran petugas kebersihan saja disini mampu berpikir layaknya seorang magister, akan tetapi petugas kebersihan kami masih kalah dengan aa dan tete di Jatinangor, mereka mungkin mampu berpikir seperti layaknya seorang doktor karena tugas praja bisa dibuatkan oleh mereka dengan jumlah harga tertentu. Tiba akhirnya pimpinan tetap mengambil kebijakan bahwa praja kampus Cilandak harus di pindahkan ke Jatinangor, bagaimana implikasi terhadap praja itu sendiri, para dosen dan pegawai serta aset lembaga di Cilandak ?
Saya akan mengulasnya satu persatu,
  1. Implikasi terhadap praja
Penyesuaian terhadap suatu lingkungan yang baru menjadi alasan terpenting ketika kita menempati tempat yang baru dengan suasana yang baru pula. Penyesuaian terhadap lingkungan membutuhkan waktu yang lama dan pengaruh psikologi yang besar, bagaimana bisa mereka yang hidup dengan suasana keilmuan pemerintahan melalui studi perspektif di beberapa lembaga tinggi negara seperti MPR, DPR, DPD, MK dan Kepresidenan termasuk kementerian-kementerian akan terputus jika pengurusan izin diperhambat dengan alur birokrasi yang kian rumit. Justru saat ini, IPDN kembali terkenal bukan lagi dengan kasus pemukulan melainkan dengan lomba debat, karya tulis, esai dan diskusi-diskusi ilmiah dengan berbagai pejabat negeri ini seperti ketua MPR tentang menghidupkan kembali GBHN, sejalan dengan itu ketua mantan lembaga tertinggi negara tersebut memuji eksistensi IPDN. Tidak hanya dilevel nasional, level internasionalpun kami bisa mengunjukan gigi melalui kegiatan konfrensi internasional di Australia, Filipina, Thailand, Arab Saudi, Singapura, Belanda, Malaysia dan negara lainnya. Siapa yang mengharumkan nama IPDN ? lagi-lagi praja IPDN kampus Cilandak. Kalau toh mereka bangga dengan prestasi yang diraih di Ceko, itu tidak ada implikasinya sama sekali terhadap akreditasi sebuah institusi. Walaupun kita memiliki segudang piala kejuaraan angkat barbel, bela diri, lari marathon, baris berbaris, menembak dan terjun payung sekalipun tetap tidak akan merubah akreditasi C menjadi A oleh BAN-PT. Maka dari itu, saya perlu sampaikan disini bahwa kami praja Cilandak memiliki peluang yang sangat besar untuk mengikuti seminar internasional karena terbukti tulisan-tulisan ilmiah kami diterima dan diminta untuk dipresentasikan. Akan tetapi lagi-lagi masalah keuangan menjadi hambatan akan peluang ini, lembaga tidak memiliki dana untuk mengakomodasi keberangkatan praja. Mirisnya lagi Kalau seandainya ada praja yang bersedia membiayainya secara pribadi dengan bantuan para dosen, bukan barang langkah ketika anda akan dipersulit pada penerbitan surat izin. Saya justru heran dengan lembaga ini tiba saatnya kegiatan non keilmuan di luar negeri, 2 orang yang jadi peserta 3 orang jadi pendamping. Saya hanya bisa mengusap dada sambil bicara sama bunga-bunga yang dipelihara didepan kamar, kian hari makin mekar karena selalu diperhatikan.
Perhatian yang diberikan oleh pembantu rektor II waktu itu (Dr. Hyronimus Rowa) menjadi semangat kami madya praja, untuk bergegas dari ibukota Desa Cibeusi ke ibukota Negara di Jakarta, dengan harapan kami bisa merasakan suasana kampus yang menurut pandangan beberapa orang adalah “elit”. Benar adanya, kami tidak dikecewakan oleh seseorang yang kini menjabat sebagai pembatu rektor III, disini kami bisa bertemu minimal seorang dirjen suatu kementerian sehingga informasi-informasi aktual, senantiasa memperkaya wawasan dalam mengembangkan pola pikir kami sebagai suatu tuntutan untuk menjawab permintaan reformasi birokrasi. Oleh sebab itu, berikanlah kesempatan madya praja yang masuk dalam program S-1 untuk menempati kampus Cilandak, jangan buat harapan mereka pupus ditengah jalan karena isu-isu yang belum menjadi agenda Rektor IPDN. Kasihan mereka, mungkin sudah tidak bisa belajar dengan penuh konsentrasi karena harus mengikuti pengkaderan drum band, polisi praja, komando, dan unit/instansi lainnya. Isu ini tidak hanya membuat praja pusing, tetapi juga dilema bagi para dosen dan pegawai di lembaga gabungan antara IIP dan STPDN tersebut.

2. Implikasi terhadap dosen dan pegawai

Tidak bisa kita pungkiri bahwasannya tenaga pengajar di institut ini merupakan loncatan dari jabatan struktural ke fungsional, mereka yang telah pensiun dengan aneka ragam eselon dan pangkat yang telah mentok di IVE mengabdikan dirinya ke lembaga ini, lepas dari alasan perpanjangan usia pensiun. Mereka yang merupakan pejabat tinggi yang telah pensiun kemudian menjadi dosen, sebagian besar berdomisili di Jakarta. Jarak yang dekat membuat mereka tidak perlu membuang waktu dan tenaga yang banyak untuk mengajar, tetapi sebaliknya tempat mengajar yang jauh akan membutuhkan tenaga dan pikiran yang relatif kompleks. Akibatnya tenaga yang telah terkuras tidak akan efektif, jika harus mengajar 3 kelas secara gabungan dengan 120an jumlah praja, belum lagi jika praja itu ribut dan hanya tidur-tiduran. Rasanya bagaikan seorang aktor Mike Banning yang akan membunuh para teroris karena mengancam nyawa Presiden Amerika dalam film London Has Falen. Belum lagi biaya transportasi dari Jakarta ke ujung tol Cileunyi, coba kita bayangkan sekali perjalanan menghabiskan biaya bensin minimal 200 ribu. Tidaklah setimpal tenaga yang telah terkuras ditambah dengan biaya transporasi 200 ribu diganti dengan honor dari lembaga 35 ribu setiap pertemuan (kalau guru besar 45 ribu).

3. Implikasi terhadap Aset

Terpeliharanya bangunan semenjak IIP berdiri, terbangunnya beberapa gedung dengan penambahan beberapa fasilitas yang baru dan terawatnya taman serta tanaman karena ada praja didalamnya. Mana bisa mahasiswa S2 dan S3 akan disuruh menyapu halaman dari PKD sampai wisma 14, sebelum mengikuti kegiatan perkuliahan oleh seorang Profesor, mana mungkin mahasiswa profesi kepamongprajaan yang sebagian besar sudah berusia lanjut harus diperintahkan untuk menanam dan atau menyiram tanaman. Ketika kita mampu berpikir secara sehat, maka kita dapat menyimpulkan bahwa ketika tidak ada praja maka tidak akan ada anggaran yang akan mengalir ke kampus Cilandak. Lantas bangunan-bangunan bersejarah ini akan dipelihara melalui dana apa ? Ketika kita mendengar isu bahwa wisma-wisma ini akan diprivatisasi/disewakan kepada mahasiswa S2 dan S3, sungguh membuka peluang yang besar terhadap praktik-praktik korupsi. Pasalnya biaya sewa aula yang sering digunakan untuk kegiatan kondangan, masuk dalam penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tidak jelas arah pertanggungjawabannya. 
Pemindahan aset-aset kantor membutuhkan lagi biaya yang besar dan mau tidak mau, suka ataupun tidak suka jika pimpinan mengambil kebijakan itu maka harus mau dan harus suka. Tidak lain adalah mengeluarkan biaya yang relatif besar untuk sewa tukang dan mobil angkut. Oleh sebab itu sekiranya kebijakan untuk relokasi praja IPDN kampus Cilandak ke Jatinangor, perlu dipertimbangkan kembali. Serta jangan lupa, lepas semua napsu tidak suka dalam menyusun formulasi kebijakan karena itu akan berpengaruh terhadap implementasi sebuah kebijakan (Willian N. Dunn, 1998).
Sumber Bacaan :
Bennis Warren. 1967. Organizational of the Future. Dallas Natemayer, Walter E., (edt) Personnel  
                             Administration,  International Personnel Management, Washington DC.
Giroth Lexie & Giroth Jacson. 1998. Kepamongprajaan. Rineka Cipta : Jakarta.
Labolo Muhadam. 2014. Memahami Ilmu Pemerintahan. Raja Grafindo Persada : Jakarta.
Ndraha Taliziduhu. 2007. Kybernology Sebuah Charta Pembaharuan. Sirao Credentia Center : Tangerang. 
_______________. 2008. Kybernologi Sebuah Metamorphosis. Sirao Credentia Center : Tangerang.
Surianingrat Bayu. 1992. Mengenal Ilmu Pemerintahan. Rineka Cipta : Jakarta.
Thoha Miftah. 2002. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Raja Grafindo Persada : Jakarta.
William N. Dunn. 1998. Analisis Kebijakan Publik. Terjemahan

Landasan Hukum :
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemeritahan Daerah
Perpres Nomor 1 tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Keppres No. 87 Tahun 2004 tentang Penggabungan STPDN ke dalam IIP.
Keppres No. 42 Tahun 1992 tentang Pendirian Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri,
Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2004 tentang Penggabungan STPDN ke dalam IIP.
Peraturan Menteri Dalam Negeri 43 Tahun 2005 tentang Statuta IPDN
SE Menpan Nomor : B/1268/M.PAN-RB/03/2016

Laman Berita :
http://wp.me/p3l9wx-Oa. “FH ULM Membuat Peserta Debat Mahkamah Konstitusi Jadi Nostalgia dan Terkejut” 28 April 2016





















Kepemimpinan Ahok dalam Perspektif Kybernologi

APA SALAH DAN DOSA KU ? 
(SEBUAH KRITIK TERHADAP DIRI SENDIRI)
“IPDN harus memproduksi magnanimous thought setajam mungkin.
Ingat !
Lebih baik jadi kepala ayam jantan (kecil tapi pekokok)
ketimbang menjadi ekor sapi (besar, tetapi hanya pengusir lalat)”
-Prof Dr. Taliziduhu Ndraha-
Ditengah kesibukan untuk menyusun syarat menjadi seorang sarjana, saya diberikan tugas khusus untuk menyusun suatu artikel ilmiah. Tugas khusus ini merupakan suatu kehormatan karena diberikan bukan atas pelanggaran karena kelebihan berat badan ataupun TK karena memakai trening di kelas, melainkan karena memang sudah giliran saya setelah membawakan makalah yang terakhir dengan judul “Quo Vadis Praja IPDN Kampus Cilandak”. Selain alasan kapasitas saya yang dituntut untuk menjadi lebih ketika mengikuti plato’s institute. Kesempatan yang besar bagi saya, ketika pengurus plato’s institute angkatan XXIV mendelegasikan agar makalah yang akan didiskusikan minggu depan, dalam kegiatan yang dianggap elit tersebut adalah makalah saya. Diskusi yang membahas isu-isu permasalahan negeri ini menjadi bahan perbincangan yang seringkali berujung pada suatu perdebatan diantara peserta diskusi. Makalah ini saya angkat kembali dengan alasan adanya keterkaitan dengan mata kuliah kita yaitu “Kepengikutan Pemerintahan” yang menyangut kepercayaan masyarakat terhadap suatu pemerintahan.
Perhelatan kali ini saya mengantar kita pada suatu isu yang kontroversial tentang sosok pemimpin  Provinsi DKI Jakarta. Basuki Tjahya Purnama dengan nama panggilan Ahok merupakan Gubernur di ibu kota negara setelah menggantikan Joko Widodo yang terpilih sebagai Presiden tahun 2014 silam. Kedua tokoh yang sangat fenomenal ini, menjadikan masyarakat Indonesia terbagi atas kelompok yang pro dan juga kontra dalam setiap kebijakan serta program pemerintahan. Meminjam pandangan filsafat Cina yang mengatakan “bahwa ketika seekor katak yang berada dalam satu gelas kemudian, gelas tersebut diberikan air panas secara otomatis katak tersebut akan meloncat karena panasnya air itu”. Dari pandangan tersebut ada nilai-nilai fundamental yang ingin disampaikan kepada kita, termasuk contoh yang terjadi di DKI Jakarta. Ketika kedua sosok ini sering mengusik akan kenyamanan para elit birokrat yang kian mengakar dalam zona nyaman pemerintahan terdahulu, tidak terkecuali para politisi yang sering memainkan uang rakyat untuk kepentingan pribadi tapi berkedok penambahan infrastruktur dari segi pelayanan kesehatan hingga pendidikan. 
Terlepas dari persoalan politik, yang kian hari semakin memanas ketika PDI-P mendeklarasikan untuk mendukung petahana dalam pencalonan Gubernur tahun 2017 mendatang, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dinobatkan sebagai Gubernur terbaik se-Asia versi majalah Globe Asia. Disampaikan di dalam ulasan majalah tersebut bahwa belum ada yang seberani Ahok dalam menjalankan berbagai kebijakan yang dianggap tidak demokratis di pusat ibukota negara, apalagi Ahok merupakan golongan minoritas. Saya yakin bukan karena tingkat pendidikan masyarakat Indonesia yang masih rendah sehingga begitu mudah diadudomba dengan isu-isu agama, suku, ras, antar golongan, melainkan karena provokasi yang digerakkan oleh kaum-kaum pemikir, kaum intelek yang mengaggap bahwa Ahok adalah pemimpin yang tidak sopan dan kafir. Saya berpikir bahwa Jokowi juga yang merupakan sosok pemimpin yang sederhana, sopan dan agamais toh masih dibenci oleh segelintir orang. Ahok dinilai berhasil dalam meyakinkan rakyat bahwa dengan sungguh-sungguh bekerja dengan sebaik mungkin untuk membenahi ibukota DKI Jakarta, dari pada hanya menggunakan isu SARA untuk topeng dalam membodohi masyarakat dan merampok uang rakyat.  
Lantas mengapa masyarakat begitu segan terhadap Ahok ? Ternyata berdasarkan berbagai penelusuran yang begitu detail ada banyak sekali keberhasilan-keberhasilan Ahok sejak menjabat sebagai Anggota DPRD Belitung dan Bupati Belitung Timur hingga saat ini. Meskipun keberhasilan Ahok itu tidak diakui, akan tetapi saya tetap akan menguraikan perubahan-perubahan yang dialami oleh Provinsi DKI Jakarta dimasa kepemimpinan Basuki Tjahya Purnama, yaitu :
1. Banjir
“Masalah Banjir di Jakarta adalah bukti kegagalan politik Pemerintah Jakarta akan penataan tata ruang”, kata seorang pakar dari Universitas Trisaksi, Yayat Supriatna. Banjir yang tiap tahun menyambangi Jakarta, itu bukan tanggung jawab Ahok semata. Hal ini diakui oleh Wakil Ketua DPRD Provinsi DKI Jakarta Lulung Lunggana berkata bahwa masalah tersebut “Itu bukan salah Pak Ahok, banjirkan masalahnya ada di hulu”. Dalam beberapa media sebelumnya memberitakan bahwa dari zaman Sunda Kelapa, Batavia dan bahkan sekarang menjadi Jakarta masalah banjir masih menjadi trending topic di kalangan masyarakat. Akan tetapi sadarkah saudara bahwa berdasarkan data dari Dinas Tata Air Provinsi DKI Jakarta tahun 2016, titik banjir di Ibu Kota Negara menurun drastis dari jumlah 486 titik genangan menjadi 30 titik genangan. 
Sungai-sungai sudah direvitalisasi sehingga nampaknya tidak seperti dulu lagi yang dangkal dan penuh dengan sampah. Ikan-ikan mulai bercanda, riang dan gembira karena nyaman dengan lingkungan baru sebagai bukti nyata kinerja Basuki Tjahya Purnama. Walaupun itu tidak diakui oleh Anis Baswedan, yang menyatakan bahwa “sungai Jakarta bersih berkat Foke”. Manusia bisa saja memutarbalikan fakta tetapi mesin “google” tidak bisa. Sebab jika kita mengetik di google “sungai bersih karena Foke” yang keluar adalah Did you mean (Mungkin maksud Anda adalah) “sungai bersih karena Ahok”. Coba kita bayangkan seorang ahli bisa menipu dirinya sendiri karena perbedaan kepentingan politik. Hal itu juga diamini oleh Roy Suryo (Pakar Telematika) yang menyatakan bahwa “Google sebut sungai bersih karena Ahok, bukan berarti itu fakta”. Artinya beliau tidak mengakui itu, sehingga benar adanya apa yang disampaikan Muhadam Labolo (2016:2) bahwa “rasionalitas dapat dikalahkan oleh orientasi terhadap kebahagiaan yang instan. Mereka tampak cerdas dalam balutan Profesor dan doktor tapi dapat kehilangan rasionalitas ketika diperhadapkan dengan politik yang kotor”.
Bukankah itu suatu keberhasilan ? Peribahasa lama menjadi jawaban atas semuanya itu “Nila setitik merusak susu sebelanga” tidak ada artinya prestasi-prestasi yang telah kira raih ketika Kemang Village mengalami kebanjiran 27 Agustus 2016 silam. Semua menyalahkan Pemprov DKI, Dinas Tata Air, apalagi Ahok, mengapa selalu pemerintah yang disalahkan ? pertanyaan ini membuat saya harus membuka kembali catatan-catatan Ryaas Rasyid, 1996 “Makna Pemerintahan; Tinjauan dari segi etika dan kepemimpinan”.
2. Kemacetan
Sistem ganjil genap pernah menyita perhatian seluruh masyarakat Indonesia ketika pertama kali diuji coba pada tanggal 26 Juli 2016, sistem tersebut merupakan salah satu strategi untuk mengatasi  kemacetan di daerah yang terkenal dengan slogan “bukan Jakarta kalau tidak macet”. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta tahun 2015 jumlah kendaraan bermotor sudah mencapai 16.072.869 unit, jika seluruh kendaraan ini disusun tidak akan mencukupi panjang jalan di DKI Jakarta yang hanya 6.956.842,26 meter. Artinya setiap satu unit kendaraan bermotor hanya mencapai 0,43 meter atau jika dibandingkan dengan luas jalan di DKI Jakarta 48.502.763,16 m maka satu unit kendaraan bermotor hanya mencapai 3,02 m. 
Upaya untuk membangun jalan terkendala dengan terbatasnya lahan yang ada, sehingga pertumbuhan panjang jalan sangat kecil dibandingkan dengan yang dibutuhkan. Oleh karena itu, pemerintah telah berupaya dengan berbagai kebijakan seperti penambahan moda transportasi umum transjakarta, pembangunan jalan layang non tol Casablanca-Tanah Abang, pelarangan sepeda motor, untuk melintasi wilayah tertentu, pembangunan mass rapid transit (MRT) serta Light Rapid Transit hingga kebijakan yang mendorong para pegawai negeri di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggunakan kendaraan umum. Aturan ini tertuang dalam instruksi Gubernur Nomor 150 tahun 2013 tentang penggunaan kendaraan umum bagi pejabat dan pegawai Pemprov DKI Jakarta.
3. Reformasi Birokrasi
“Pejabat di era Ahok dari pimpinan bisa terjun bebas menjadi staf”. kalimat tersebut pernah menjadi topik salah satu media massa dalam membahas masalah seleksi terbuka di DKI Jakarta. Seleksi terbuka dalam tataran jabatan eselon 1 hingga 4 sempat menuai kritik dan pujian yang berujung pada suatu perdebatan serta bermuara  pada sikap benci dan dendam. Pasalnya Pemprov DKI Jakarta dengan tegas mencopot pejabat-pejabat yang tidak memiliki inovasi kreativitas dalam memimpin suatu jabatan, tentunya bukan sembarang copot mencopot melainkan melalui suatu proses evaluasi yang menghasilkan suatu bukti bahwa pekerjaan yang dilakukan bersifat stagnan. Pada prinsipnya orang nomor satu di DKI Jakarta mencari pejabat yang ingin kerja, kerja untuk melayani masyarakat sesuai dengan profesionalisme yang dimilikinya.
Lelang jabatan merupakan salah satu amanat dari reformasi birokrasi. Sudah muak masyarakat berhadapan dengan pejabat yang korupsi, kolusi dan penuh nepotisme serta pengelolaan birokrasi yang berbelit dan sengaja dibuat rumit sehingga pelayaanan publik sering diabaikan. Itu semua telah direformasi oleh Pemprov DKI Jakarta; mulai dari pengelolaan keuangan telah berbasis e-budgeting, pelayanan publik secara gratis, cepat dan mudah melalui PTSP online yang dikelola oleh BanPTSP, seleksi terbuka untuk mengisi jabatan struktural serta penolakan APBD-P tahun 2014 yang mengarah pada indikasi tindak pidana korupsi. Bukankah itu semua merupakan suatu keberhasilan, ingat tidak semua masyarakat di Indonesia manikmati hal yang sama karena itu adalah perbedaan fundamental dari sosok seorang pemimpin. alasan apalagi masyarakat ingin menyalahkan Ahok ?.
Apakah terkait kasus reklamasi ? atau penggusuran dimana-mana ?. Media mengekspos bahwa masyarakat DKI Jakarta menolak karena masyarakat pribumi terus dirugikan. Yang menjadi pertanyaannya, yang mana yang dikatakan masyarakat pribumi di DKI Jakarta ?, bagi saya sebagian besar penduduk disini itu hanyalah pendatang, termasuk saya dan anda hanya untuk mengais rezeki  dan menimbah ilmu di Ibukota Negara. Toh buktinya setiap kali Lebaran kota Jakarta seperti kota mati, serasa milik pribadi karena tidak ada penduduknya; semua lagi mudik. Tapi mengapa kita menolak kebijakan pemerintahan DKI Jakarta dengan mengatasnamakan penduduk pribumi ?.  apakah sebagian penduduk Indonesia sudah tidak ada rasa malunya lagi ataukah ada kepentingan dibalik semua itu ?. Selanjutnya mengapa kasus reklamasi baru dimasa kepemimpinan Ahok dipermasalahkan ? bukankah izin prinsip itu sudah ada semenjak zaman Gubernur Sutiyoso dan pendahulunya ?. Dari situlah saya berkesimpulan bahwa bukan programnya/kebijakannya yang dipersoalkan melainkan Ahoknya yang dipermasalahkan. Seandainya reklamasi itu dilanjutkan oleh Anis Baswedan atapun Agus Yudhoyono misalnya, mungkin tidak akan menjadi kasus seperti sekarang ini. Karena kelompok penekan (presure group) yang mayoritas berada dipihak Anis dan Agus. Kita lihat saja nanti, karena reklamasi di Jakarta pasti akan dilanjutkan karena itu merupakan suatu kebutuhan bukan keinginan, mengingat tekanan eksternal MEA yang mendorong DKI Jakarta sebagai kawasan strategis Nasional, jika ini tidak dilakukan tergilas kita oleh perubahan.
Alasan keberhasilan diatas sudah cukup memberikan gambaran kepada kita bagaimana seorang Gubernur me-menejemen suatu pemerintahan dengan persoalan-persoalan yang kompleks.   Jakarta sekarang ini butuh pemimpin yang tegas, keras dan berhati besar karena mulai hadirnya surga sampai neraka itu ada di Jakarta, sehingga rakyat mau maju atau terkebelakang, pintar atau bodoh, kaya atau miskin tergantung pemerintahannya. Kualitas pemerintahan tergantung si pemimpin. Kalau pemimpin pemerintahan adalah seorang yang baik maka baiklah pemerintahan itu, demikian pula sebaliknya. Pemimpin adalah pembawa kemakmuran dan kebahagiaan. Sebaliknya ia juga dapat menjadi pembawa bencana.
SEBUAH KRITIK TERHADAP DIRI SENDIRI
Bukankah Jokowi, Ahok, Risma, Ridwan Kamil dan Nurdin Abdullah merupakan sosok ideal yang dibutuhkan dalam perspektif kybernologi ?. Justru orang-orang seperti itulah yang harus kita dukung bukan dimusuhi, mereka yang mampu menerobos zaman serta memiliki pemikiran dan kekuatan yang besar, inovasi, kreativitas serta mandiri. Seandainya Taliziduhu Ndraha bisa bangkit kembali dari lobang kuburnya pasti beliau yang akan berdiri dibarisan paling depan sebagai tameng untuk menjawab kritikan pedas serta menerobos argumentasi yang menghambat implementasi fungsi-fungsi pemerintahan, layaknya seorang aktor Mike Banning yang melindungi nyawa Presiden Amerika Serikat dari ancaman pembunuhan oleh teroris dalam film London Has Falen.
Sabagai orang yang memahami makna dan esensi pemerintahan, rasanya keberhasilan-keberhasilan yang telah dijelaskan tadi sudah menjawab kebutuhan masyarakat akan hadirnya suatu pemerintahan. Tinggal kita memberikan masukan-masukan sesuai etika pemerintahan dalam kerangka perubahan, bukan kita berkoar-koar memprovokasi masyarakat gulingkan ahok karena kebijakan yang kontorversial. Yang menjadi perenungan kita, kebijakan mana coba yang tidak menuai kritikan ? Edward III dan Willian N. Dunn dalam buku-bukunya tentang kebijakan publik menyatakan tidak ada suatu kebijakan yang diterima secara utuh dalam konteks negara demokrasi. 

Ketika kita memberikan masukan kepada pemerintah itu artinya kita peduli sebagai tingkat partisipasi masyarakat, tapi ketika kita memberikan masukan tanpa solusi maka tidak ada bedanya lulusan IPDN dengan mahasiswa luar yang terkenal dengan aksi demontrasi, terkesan anarkis dan liar. Disinilah kualitas kita diuji sehingga kita yang bernaung dalam sebuah sistem, sistem pemerintahan secara umum perlukah  kita dengan kecakapan yang dilatih selama 4 tahun di lembah manglayang melakukan aksi provokasi, demonstrasi dan bahkan kudeta sekalipun ? saya pikir mereka yang menanggap perlu, harus dilatih kembali seraya diingatkan 12 nilai kepamongprajaan (Taliziduhu Ndraha, 2008:1-7).