SISTEM
POLITIK INDONESIA
NAMA :
JENUARD MOSSES TEGUH NELWAN
NPP :
24.1586
KELAS : A-PROGRAM SARJANA
1.
Bagaimana budaya politik di Indonesia ?
Menurut
Rusadi (1999), budaya politik tidak lain adalah pola tingkahlaku individu dan
orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu
sistem politik. Pada prinsipnya, budaya politik sebagai salah satu unsur atau
bagian kebudayaan merupakan satu diantara sekian jenis lingkungan yang
mengelilingi, mempengaruhi dan menekan sistem politik. Dalam budaya politik
terdapat tiga klasifikasi, yaitu :
1.
Budaya
Politik Parokial.
Budaya
Politik Parokial artinya terbatas pada wilayah atau lingkup yang kecil, sempit
misalnya yang bersifat provinsial. Dalam masyarakat tradisional dan sederhana,
dimana spesialisasi sangat kecil, para pelaku politik sering melakukan
peranannya serempak dengan peranannya dalam bidang ekonomi, keagamaan dan
lain-lain. Dalam masyarakat yang bersifat parokial in, karena terbatasnya
diferensiasi tidak terdapat peranan politik yang bersifat khas dan berdiri
sendiri.
Keadaan
mutlak, dimana anggota masyarakat tidak menaruh minat terhadap objek-objek
politik secara sepenuhnya. Hal yang menonjol dalam budaya politik parokial
ialah adanya kesadaran anggota masyarakat akan adanya pusat
kewenangan/kekuasaan politik dalam masyarakatnya.
2.
Budaya
Politik Kaula.
Budaya
Politik Kaula yaitu dimana anggota masyarakat mempunyai minat, perhatian,
mungkin pula kesadaran terhadap sistem
secara keseluruhan terutama terhadap segi output.
Sedangkan perhatian atas aspek input
serta kesadarannya sebagai aktor politik boleh dikatakan nol atau tidak ada.
Orintasi mereka yang nyata terhadap obyek politik dapat dilihat dari
pernyataannya, baik berupa kebanggaan, ungkapan sikap mendukung maupun sikap
permusuhan terhadap sistem, terutama terhadap outputnya. Posisi sebagai kaula, pada pokoknya dapat dikatakan
posisi yang pasif karena mereka menganggap dirinya tidak berdaya mempengaruhi
atau merubah sistem dan oleh karena itu menyerah saja kepada segala
kebijaksanaan dan keputusan para pemegang jabatan dalam masyarakat.
3.
Budaya
Politik Pastisipan.
Budaya
politik ini ditandai oleh adaanya perilaku yang berbeda perilaku sebagai
“kaula”. Seseorang menganggap dirinya ataupun orang lain sebagai anggota aktif
dalam kehidupan politik. Seseorang dengan sendirinya menyadari setiap hak dan
tanggungjawabnya serta dapat merealisasi dan mempergunakan hak serta menanggung
kewajibannya. Tidak diharapkan seseorang harus menerima begitu saja keadaan,
tunduk terhadap keadaan, tidak lain karena ia merupakan salah satu mata rantai
proses politik. Dengan demikian seseorang dalam budaya politik partisipan dapat menilai dengan penuh kesadaran baik sistem sebagai totalitas, input dan output, maupun posisi dirinya sendiri. Kritisme penilaian terhadap
sistem politik terlihat dalam semua bidang.
Berdasarkan
tiga klasifikasi tipe budaya politik diatas maka, sesuai fakta dapat
disimpulkan bahwa Indonesia menganut klasifikasi ketiganya artinya bersifat
Parokial, kaula disatu pihak dan budaya politik pastisipan dilain pihak; disatu
segi masyarakat masih ketinggalan dalam menggunakan hak dan dalam memikul
tanggungjawab politiknya. Sebagai contoh, masyarakat di kabupaten Wamena
Provinsi Papua, mereka sepertinya terisolasi karena kehidupan mereka sabagian
besar hidup di pegunungan sehingga tingkat partisipasi mereka hampir tidak ada.
Serta juga ditemui ada masyarakat yang tergolong dalam budaya politik kaula,
mereka telah mengerti apa yang harus dilakukan tetapi sepertinya mereka pura-pura gila (PPG) terhadap tingkat
pastisipasi politik di Indonesia. Sedangkan juga dilain pihak kaum elit politik
sungguh-sungguh merupakan pastisipan yang aktif bahkan bahkan sampai-sampai
tidak tidur kalau membicarakan tentang politik, karena sudah menyangkut
kepentingan pribadi atau golongan. Misalnya dalam MUNAS Golkar di Bali tahun
2014. Mereka yang hadir ialah elit politik di negeri ini. Membicarakan
bagaimana strategi untuk kesejahteraan masyarakat umum ditengah posisi partai
yang oposisi terhadap pemerintah sampai berbicara pada bagaimana cara untuk
untuk menjadikan Aburizal Bakrie sebagai Ketua umum partai Golka. Mungkin tidak
sedikit dari mereka yang memiliki pendidikan yang modern artinya pendidikan
yang tinggi terkait politik dan pemerintahan di negeri ini.
2.
Bagaimana kapabilita sistem politik di
Indonesia ?
Menurut
Almond, konsep tentang kapabilitas sistem politik merupakan, “a way of characterizing the performance of
the political system and of changes in performance, and of comparing political
system according to their performance”. Penggunaan konsep kapabilitas akan
berguna ketika kita hendak melihat bagaimana kinerja sistem politik, termasuk
bagaimana perubahan-perubahan dalam kinerja mereka.
Klasifikasi kapabilitas
sistem politik ialah :
1. Kapabilitas
Ekstraktif
2. Kapabilitas
Regulatif
3. Kapabilitas
Distributif
4. Kapabilita
Simbolik
5. Kapabilitas
Responsif
6. Kapabilitas
dalam Negeri dan Internasional
Analisis
sistem politik di Indonesia baik pada masa orde baru maupun pada masa reformasi
tidak banyak mengalami perubahan. Sistem politik dikedua periode ini sama-sama
kurang mempunyai kapabilitas sistem politik yang seharusnya mereka miliki. Jika
pun ada perbedaan diantara keduanya barangkali adalah pada sistem politik orde
baru, input sistem politik hanya
berasal dari birokrasi (Golkar), militer dan sekelompok kecil teknorat.
Sedangkan pada masa reformasi input
sistem politik berasal dari banyak kelompok dalam masyarakat. Namun, secaraa
keseluruhan, fungsi-fungsi konversi sistem politik dalam kondisi yang sangat
baruk. Dalam kaitan ini, Arbi Sanit (2002), mengatakan “bahwa reformasi yang
berlangsung masih berkenaan dengan perubahan secara umum dari kehidupan sistem
otoriter menuju kehidupan demokrasi dan belum diimbangi oleh pengefektifan
sistem politik untuk menghasilkan kebijakan publik yang sangat dibutuhkan
masyarakat. Hal ini terjadi karena :
1. Kuatnya
orientasi untuk mengejar kekuasaan dikalangan elit politik. Ini terjadi tidak
hanya dikalangan eksekutif tetapi mencangkup juga partai politik, legislatif
dan penyelenggara peradilan.
2. Ketiadaan
budaya politik demokratis sehingga adopsi sistem politik hanya menyentuh
struktur dan fungsi-fungsinya dan tidak pada budaya politiknya.
3. Rendahnya
pelembagaan politik sebagai akibat kuatnya orientasi.
Referensi :
Kantaprawira, R. 1997. Sistem Politik Indonesia. Bandung :Sinar baru algensindo.
Winarno, B. 2007. Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta : MedPress.
Arbi Sanit. 2002. “Demokrasi, Kekuatan Masyarakat, dan Strategi Alternatif”. Dalam
Maruto MD dan Anwari MWK. Reformasi Politik dan Kekuatan Masyrakat. Jakarta :
LP3ES