Minggu, 07 Desember 2014

Budaya Politik dan Kapabilitas Politik Indonesia

SISTEM POLITIK INDONESIA


NAMA                 : JENUARD MOSSES TEGUH NELWAN

NPP                      : 24.1586

KELAS                : A-PROGRAM SARJANA

1.                  Bagaimana budaya politik di Indonesia ?
Menurut Rusadi (1999), budaya politik tidak lain adalah pola tingkahlaku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik. Pada prinsipnya, budaya politik sebagai salah satu unsur atau bagian kebudayaan merupakan satu diantara sekian jenis lingkungan yang mengelilingi, mempengaruhi dan menekan sistem politik. Dalam budaya politik terdapat tiga klasifikasi, yaitu :
1.      Budaya Politik Parokial.
Budaya Politik Parokial artinya terbatas pada wilayah atau lingkup yang kecil, sempit misalnya yang bersifat provinsial. Dalam masyarakat tradisional dan sederhana, dimana spesialisasi sangat kecil, para pelaku politik sering melakukan peranannya serempak dengan peranannya dalam bidang ekonomi, keagamaan dan lain-lain. Dalam masyarakat yang bersifat parokial in, karena terbatasnya diferensiasi tidak terdapat peranan politik yang bersifat khas dan berdiri sendiri.
Keadaan mutlak, dimana anggota masyarakat tidak menaruh minat terhadap objek-objek politik secara sepenuhnya. Hal yang menonjol dalam budaya politik parokial ialah adanya kesadaran anggota masyarakat akan adanya pusat kewenangan/kekuasaan politik dalam masyarakatnya.
2.      Budaya Politik Kaula.
Budaya Politik Kaula yaitu dimana anggota masyarakat mempunyai minat, perhatian, mungkin pula kesadaran  terhadap sistem secara keseluruhan terutama terhadap segi output. Sedangkan perhatian atas aspek input serta kesadarannya sebagai aktor politik boleh dikatakan nol atau tidak ada. Orintasi mereka yang nyata terhadap obyek politik dapat dilihat dari pernyataannya, baik berupa kebanggaan, ungkapan sikap mendukung maupun sikap permusuhan terhadap sistem, terutama terhadap outputnya. Posisi sebagai kaula, pada pokoknya dapat dikatakan posisi yang pasif karena mereka menganggap dirinya tidak berdaya mempengaruhi atau merubah sistem dan oleh karena itu menyerah saja kepada segala kebijaksanaan dan keputusan para pemegang jabatan dalam masyarakat.
3.      Budaya Politik Pastisipan.
Budaya politik ini ditandai oleh adaanya perilaku yang berbeda perilaku sebagai “kaula”. Seseorang menganggap dirinya ataupun orang lain sebagai anggota aktif dalam kehidupan politik. Seseorang dengan sendirinya menyadari setiap hak dan tanggungjawabnya serta dapat merealisasi dan mempergunakan hak serta menanggung kewajibannya. Tidak diharapkan seseorang harus menerima begitu saja keadaan, tunduk terhadap keadaan, tidak lain karena ia merupakan salah satu mata rantai proses politik. Dengan demikian seseorang dalam budaya politik partisipan  dapat menilai dengan penuh kesadaran  baik sistem sebagai totalitas, input dan output, maupun posisi dirinya sendiri. Kritisme penilaian terhadap sistem politik terlihat dalam semua bidang.
Berdasarkan tiga klasifikasi tipe budaya politik diatas maka, sesuai fakta dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut klasifikasi ketiganya artinya bersifat Parokial, kaula disatu pihak dan budaya politik pastisipan dilain pihak; disatu segi masyarakat masih ketinggalan dalam menggunakan hak dan dalam memikul tanggungjawab politiknya. Sebagai contoh, masyarakat di kabupaten Wamena Provinsi Papua, mereka sepertinya terisolasi karena kehidupan mereka sabagian besar hidup di pegunungan sehingga tingkat partisipasi mereka hampir tidak ada. Serta juga ditemui ada masyarakat yang tergolong dalam budaya politik kaula, mereka telah mengerti apa yang harus dilakukan tetapi sepertinya mereka pura-pura gila (PPG) terhadap tingkat pastisipasi politik di Indonesia. Sedangkan juga dilain pihak kaum elit politik sungguh-sungguh merupakan pastisipan yang aktif bahkan bahkan sampai-sampai tidak tidur kalau membicarakan tentang politik, karena sudah menyangkut kepentingan pribadi atau golongan. Misalnya dalam MUNAS Golkar di Bali tahun 2014. Mereka yang hadir ialah elit politik di negeri ini. Membicarakan bagaimana strategi untuk kesejahteraan masyarakat umum ditengah posisi partai yang oposisi terhadap pemerintah sampai berbicara pada bagaimana cara untuk untuk menjadikan Aburizal Bakrie sebagai Ketua umum partai Golka. Mungkin tidak sedikit dari mereka yang memiliki pendidikan yang modern artinya pendidikan yang tinggi terkait politik dan pemerintahan di negeri ini.

2.                  Bagaimana kapabilita sistem politik di Indonesia ?
Menurut Almond, konsep tentang kapabilitas sistem politik merupakan, “a way of characterizing the performance of the political system and of changes in performance, and of comparing political system according to their performance”. Penggunaan konsep kapabilitas akan berguna ketika kita hendak melihat bagaimana kinerja sistem politik, termasuk bagaimana perubahan-perubahan dalam kinerja mereka.
Klasifikasi kapabilitas sistem politik ialah :
1.      Kapabilitas Ekstraktif
2.      Kapabilitas Regulatif
3.      Kapabilitas Distributif
4.      Kapabilita Simbolik
5.      Kapabilitas Responsif
6.      Kapabilitas dalam Negeri dan Internasional
Analisis sistem politik di Indonesia baik pada masa orde baru maupun pada masa reformasi tidak banyak mengalami perubahan. Sistem politik dikedua periode ini sama-sama kurang mempunyai kapabilitas sistem politik yang seharusnya mereka miliki. Jika pun ada perbedaan diantara keduanya barangkali adalah pada sistem politik orde baru, input sistem politik hanya berasal dari birokrasi (Golkar), militer dan sekelompok kecil teknorat. Sedangkan pada masa reformasi input sistem politik berasal dari banyak kelompok dalam masyarakat. Namun, secaraa keseluruhan, fungsi-fungsi konversi sistem politik dalam kondisi yang sangat baruk. Dalam kaitan ini, Arbi Sanit (2002), mengatakan “bahwa reformasi yang berlangsung masih berkenaan dengan perubahan secara umum dari kehidupan sistem otoriter menuju kehidupan demokrasi dan belum diimbangi oleh pengefektifan sistem politik untuk menghasilkan kebijakan publik yang sangat dibutuhkan masyarakat. Hal ini terjadi karena :
1.      Kuatnya orientasi untuk mengejar kekuasaan dikalangan elit politik. Ini terjadi tidak hanya dikalangan eksekutif tetapi mencangkup juga partai politik, legislatif dan penyelenggara peradilan.
2.      Ketiadaan budaya politik demokratis sehingga adopsi sistem politik hanya menyentuh struktur dan fungsi-fungsinya dan tidak pada budaya politiknya.
3.      Rendahnya pelembagaan politik sebagai akibat kuatnya orientasi.


Referensi :
Kantaprawira, R. 1997. Sistem Politik Indonesia. Bandung :Sinar baru algensindo.
Winarno, B. 2007. Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta : MedPress.
Arbi Sanit. 2002. “Demokrasi, Kekuatan Masyarakat, dan Strategi Alternatif”. Dalam Maruto MD dan Anwari MWK. Reformasi Politik dan Kekuatan Masyrakat. Jakarta : LP3ES