Rabu, 19 Oktober 2016

Quo Vadis IPDN Kampus Jakarta

QUO VADIS PRAJA INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI (IPDN) KAMPUS CILANDAK


“IPDN harus memproduksi magnanimous thought setajam mungkin.
Ingat !
Lebih baik jadi kepala ayam jantan (kecil tapi pekokok)
ketimbang menjadi ekor sapi (besar, tetapi hanya pengusir lalat)”
-Prof Dr. Taliziduhu Ndraha-

Pemindahan praja IPDN kampus Cilandak ke Jatinangor, merupakan suatu isu hangat yang masih menjadi perdebatan di kalangan pucuk pimpinan lembaga kedinasan tersebut. Pasalnya isu ini telah mencuat ke permukaan sehingga membuat para praja IPDN kampus Cilandak seakan menikmati bait pertama lagu “kisah kasih di sekolah” yaitu resah dan gelisah serta bertanya-tanya apakah benar, kita akan direlokasikan ke lembah manglayang tempat dimana kita diajar, dilatih dan dibina pertama kali menikmati pendidikan di IPDN ?. Tentunya dengan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh kampus Cilandak, menjadi pertimbangan dalam perumusan kebijakan (agenda setting) atas isu ini. Adapun alasan mendasar yang menjadi pertimbangan dalam formulasi kebijakan yaitu berkurangnya kuota penerimaan praja IPDN dua tahun terakhir, justru kita  memandang bahwa ini merupakan suatu awal yang baik dalam menjalankan pola pendidikan  yang efektif dan efisien. Mungkin saja segelintir orang memandang bahwa berkurangnya kuota perimaan calon praja akan menutup pos-pos anggaran sehingga saku kanan mereka menjadi kering, tidak seperti dulu lagi. Argumen seolah-olah praja yang berada kampus Cilandak itu tidak disiplin adalah sesat dan menyesatkan, tidak realistis, dan palsu. Buktinya dua tahun terakhir ini hampir tidak ada praja kampus Cilandak yang dijatuhi pelanggaran disiplin berat, berbeda halnya dengan kampus  disana yang kurang lebih 25 praja dari segala tingkatan diberhentikan, turun tingkat ataupun mendapat pengurangan nilai pengasuhan. Saya memandang bahwa praja kampus Cilandak mampu berpikir secara rasional, realistis dan komprehensif, tahu membedakan mana buruk dan baik, tindakan menyenangkan ataupun menyusahkan karena kami diibaratkan sebagai hasil perasan santan yang pertama (Dr. Margaretha Rumbekwan, 2016). Artinya apa, mereka yang beruntung mengenyam pendidikan di kampus ini ialah mereka yang memiliki nilai lebih ditinjau dari aspek emosional, etika, estetika dan akademika. Itulah sebabnya praja kampus Cilandak dengan idealisme keilmuan yang tinggi, seakan menunda relokasi ini dengan segundang alasan yang sebagai garansinya, mereka bertarung pada sejumlah argumentasi pro dan kontra. Akan tetapi, sebelum kita memahami lebih dalam, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu asal muasal adanya IPDN kampus Cilandak.
Dikeluarkannya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang mengatur bahwa suatu departemen tidak boleh memiliki dua atau lebih perguruan tinggi dalam menyelenggarakan keilmuan yang sama, mendorong Departemen Dalam Negeri (Depdagri) untuk mengintegrasikan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) ke dalam Institut Ilmu Pemerintahan (IIP). Usaha pengintegrasiaan STPDN kedalam IIP secara intensif dan terprogram sejak tahun 2003, akan tetapi secara de jure diakui pada tahun 2004 melalui Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2004 tentang Penggabungan STPDN ke dalam IIP. Konsekuensi terpenting dari hal itu adalah nomenklatur dari kedua lembaga tersebut kemudian digabung dengan nama baru yaitu Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Dengan adanya kewenangan delegir dalam pembentukan peratuan perundang-undangan maka Kepres tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri 43 Tahun 2005 tentang Statuta IPDN. Akan tetapi pengaturan melalui Permendagri tersebut tidak secara konsisten dilaksanakan karena adanya keragu-raguan dalam proses pengelolaan lembaga baru tersebut termasuk di dalamnya tumpang tindih proses administrasi. Semestinya jika para pengambil keputusan itu konsisten dengan keppres diatas, satu-satunya organisasi yang masih hidup secara normatif sebagai penyelenggara pendidikan kedinasan di lingkungan Depdagri hanyalah IIP dengan nama baru IPDN dengan pusat pengendaliannya berada di Jakarta (Muhadam Labolo, 2014:30). Implikasi terhadap hal itu seluruh aset yang dimiliki oleh IIP dan STPDN secara riil telah menjadi milik IPDN.
Seiring berjalannya waktu, IPDN yang masih berumur 3 tahun harus menerima tekanan dari seluruh lapisan masyarakat, pasca kematian seorang Madya Praja asal Sulawesi Utara yaitu Clif Muntu. Kematian yang kotroversial itu menjadikan pejabat negeri ini menjadi geram dengan tuntutan supaya IPDN dibubarkan. Akan tetapi Presiden Republik Indonesia pada saat itu Susilo Bambang Yudhoyono mengambil sikap yang bijak dengan cara membentuk tim yang diketuai oleh Prof. Ryaas Rasyid (Mantan Rektor IIP) untuk melalukan evaluasi. Serentetan dengan itu maka, Presiden Republik Indonesia pada tanggal 9 April 2007 mengeluarkan kebijakan untuk segera dilakukan pembenahan dalam membangun budaya organisasi yang baru di lingkungan IPDN, dengan ketetapan tidak ada penerimaan calon praja IPDN dalam kurun waktu satu tahun. Kebijakan Presiden inipun memperoleh dukungan dari anggota DPR-RI. Maka amanat Perpres Nomor 1 tahun 2009, Pendidikan tinggi kepamongprajaan selain diselenggarakan di kampus pusat Jatinangor, serta kampus di Cilandak Jakarta, juga diselenggarakan di beberapa kampus daerah yang menyelenggarakan program studi tertentu sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Oleh sebab itu, relokasi praja IPDN kampus Cilandak bagi saya melanggar aturan, melanggar aturan merupakan musuh bebuyutan dari slogan revolusi mental. Akankah kita tetap direlokasi ? perlu dipertanyakan kembali sejauh mana semangat revolusi mental ini.
Kembali kedalam konteks pembahasan kita, terlepas dari pola pendidikan yang menganut tritunggal terpusat yaitu pengajaran, pelatihan dan pengasuhan (Jarlatsuh), sebagai amanat dari pasal 376 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemeritahan Daerah. Apalah jadinya ketika IPDN sebagai lembaga pendidikan yang mencetak kader pamongpraja (Bayu Sarianingrat, 1992; Lexie Giroth & Jacson Giroth, 1998) hanya memiliki keahlian untuk membuat kopi, merapihkan meja pimpinan juga sebagai pengatur kabel dalam acara-acara besar kenegaraan maupun daerah. Memang kita dituntut untuk memiliki sikap loyalitas terhadap pimpinan, saya pikir itu merupakan hal yang fundamental dalam sistem birokrasi weberian. Akan tetapi sistem seperti itu sudah mulai luntur sebagaimana pandangan Warren Bennis yang dalam tulisannya pada majalah Personel Administrastion (1967) bahwa 25-50 tahun kedepan (dihitung semenjak tulisan itu) kita bersama-sama akan menyaksikan jatuhnya birokrasi Weber dan diganti dengan sistem sosial yang baru sesuai dengan harapan masyarakat pada abad ke-20. Benar adanya diera reformasi saat ini, masyarakat mendesak untuk melakukan reformasi birokrasi sehingga di era kepemimpinan Presiden SBY dibuatlah suatu kebijakan yang dinamakan Open Bidding. Kebijakan ini bertujuan untuk mencari aparatur sipil negara yang tidak hanya memiliki otot tetapi juga otak, otak yang memiliki kemampuan dalam tataran pengambilan kebijakan. Maka dari itu perlu disiapkan kader yang mampu berpikir secara komprehensif, dan jangan lupa persiapan ini tidak dilakukan dengan kegiatan pengasuhan.
Kegiatan pengasuhan di kampus Jatinangor menjadi alasan mutlak para praja ketika mereka tertidur di kelas ataupun terlambat masuk kelas. Itulah sebabnya, para dosen mengeluh termasuk mantan kepala Arsip Nasional (Moch. Asichin) akan tetapi tidak hanya beliau, dosen senior seperti Muhadam Labolo juga menemukan adanya praja yang membawa kipas angin kedalam ruang kuliah.  Apa artinya itu, secara logika praja tidak akan mungkin membawa kipas angin, jika ruang belajar mereka itu dingin dengan suasana belajar yang nyaman. Hal-hal semacam itulah justru yang harus menjadi perhatian pucuk pimpinan lembaga kedinasan ini, bukan semata-mata sirik terhadap pola pendidikan di kampus Cilandak yang penuh suasana keilmuan. Sehingga tidak heran petugas kebersihan saja disini mampu berpikir layaknya seorang magister, akan tetapi petugas kebersihan kami masih kalah dengan aa dan tete di Jatinangor, mereka mungkin mampu berpikir seperti layaknya seorang doktor karena tugas praja bisa dibuatkan oleh mereka dengan jumlah harga tertentu. Tiba akhirnya pimpinan tetap mengambil kebijakan bahwa praja kampus Cilandak harus di pindahkan ke Jatinangor, bagaimana implikasi terhadap praja itu sendiri, para dosen dan pegawai serta aset lembaga di Cilandak ?
Saya akan mengulasnya satu persatu,
  1. Implikasi terhadap praja
Penyesuaian terhadap suatu lingkungan yang baru menjadi alasan terpenting ketika kita menempati tempat yang baru dengan suasana yang baru pula. Penyesuaian terhadap lingkungan membutuhkan waktu yang lama dan pengaruh psikologi yang besar, bagaimana bisa mereka yang hidup dengan suasana keilmuan pemerintahan melalui studi perspektif di beberapa lembaga tinggi negara seperti MPR, DPR, DPD, MK dan Kepresidenan termasuk kementerian-kementerian akan terputus jika pengurusan izin diperhambat dengan alur birokrasi yang kian rumit. Justru saat ini, IPDN kembali terkenal bukan lagi dengan kasus pemukulan melainkan dengan lomba debat, karya tulis, esai dan diskusi-diskusi ilmiah dengan berbagai pejabat negeri ini seperti ketua MPR tentang menghidupkan kembali GBHN, sejalan dengan itu ketua mantan lembaga tertinggi negara tersebut memuji eksistensi IPDN. Tidak hanya dilevel nasional, level internasionalpun kami bisa mengunjukan gigi melalui kegiatan konfrensi internasional di Australia, Filipina, Thailand, Arab Saudi, Singapura, Belanda, Malaysia dan negara lainnya. Siapa yang mengharumkan nama IPDN ? lagi-lagi praja IPDN kampus Cilandak. Kalau toh mereka bangga dengan prestasi yang diraih di Ceko, itu tidak ada implikasinya sama sekali terhadap akreditasi sebuah institusi. Walaupun kita memiliki segudang piala kejuaraan angkat barbel, bela diri, lari marathon, baris berbaris, menembak dan terjun payung sekalipun tetap tidak akan merubah akreditasi C menjadi A oleh BAN-PT. Maka dari itu, saya perlu sampaikan disini bahwa kami praja Cilandak memiliki peluang yang sangat besar untuk mengikuti seminar internasional karena terbukti tulisan-tulisan ilmiah kami diterima dan diminta untuk dipresentasikan. Akan tetapi lagi-lagi masalah keuangan menjadi hambatan akan peluang ini, lembaga tidak memiliki dana untuk mengakomodasi keberangkatan praja. Mirisnya lagi Kalau seandainya ada praja yang bersedia membiayainya secara pribadi dengan bantuan para dosen, bukan barang langkah ketika anda akan dipersulit pada penerbitan surat izin. Saya justru heran dengan lembaga ini tiba saatnya kegiatan non keilmuan di luar negeri, 2 orang yang jadi peserta 3 orang jadi pendamping. Saya hanya bisa mengusap dada sambil bicara sama bunga-bunga yang dipelihara didepan kamar, kian hari makin mekar karena selalu diperhatikan.
Perhatian yang diberikan oleh pembantu rektor II waktu itu (Dr. Hyronimus Rowa) menjadi semangat kami madya praja, untuk bergegas dari ibukota Desa Cibeusi ke ibukota Negara di Jakarta, dengan harapan kami bisa merasakan suasana kampus yang menurut pandangan beberapa orang adalah “elit”. Benar adanya, kami tidak dikecewakan oleh seseorang yang kini menjabat sebagai pembatu rektor III, disini kami bisa bertemu minimal seorang dirjen suatu kementerian sehingga informasi-informasi aktual, senantiasa memperkaya wawasan dalam mengembangkan pola pikir kami sebagai suatu tuntutan untuk menjawab permintaan reformasi birokrasi. Oleh sebab itu, berikanlah kesempatan madya praja yang masuk dalam program S-1 untuk menempati kampus Cilandak, jangan buat harapan mereka pupus ditengah jalan karena isu-isu yang belum menjadi agenda Rektor IPDN. Kasihan mereka, mungkin sudah tidak bisa belajar dengan penuh konsentrasi karena harus mengikuti pengkaderan drum band, polisi praja, komando, dan unit/instansi lainnya. Isu ini tidak hanya membuat praja pusing, tetapi juga dilema bagi para dosen dan pegawai di lembaga gabungan antara IIP dan STPDN tersebut.

2. Implikasi terhadap dosen dan pegawai

Tidak bisa kita pungkiri bahwasannya tenaga pengajar di institut ini merupakan loncatan dari jabatan struktural ke fungsional, mereka yang telah pensiun dengan aneka ragam eselon dan pangkat yang telah mentok di IVE mengabdikan dirinya ke lembaga ini, lepas dari alasan perpanjangan usia pensiun. Mereka yang merupakan pejabat tinggi yang telah pensiun kemudian menjadi dosen, sebagian besar berdomisili di Jakarta. Jarak yang dekat membuat mereka tidak perlu membuang waktu dan tenaga yang banyak untuk mengajar, tetapi sebaliknya tempat mengajar yang jauh akan membutuhkan tenaga dan pikiran yang relatif kompleks. Akibatnya tenaga yang telah terkuras tidak akan efektif, jika harus mengajar 3 kelas secara gabungan dengan 120an jumlah praja, belum lagi jika praja itu ribut dan hanya tidur-tiduran. Rasanya bagaikan seorang aktor Mike Banning yang akan membunuh para teroris karena mengancam nyawa Presiden Amerika dalam film London Has Falen. Belum lagi biaya transportasi dari Jakarta ke ujung tol Cileunyi, coba kita bayangkan sekali perjalanan menghabiskan biaya bensin minimal 200 ribu. Tidaklah setimpal tenaga yang telah terkuras ditambah dengan biaya transporasi 200 ribu diganti dengan honor dari lembaga 35 ribu setiap pertemuan (kalau guru besar 45 ribu).

3. Implikasi terhadap Aset

Terpeliharanya bangunan semenjak IIP berdiri, terbangunnya beberapa gedung dengan penambahan beberapa fasilitas yang baru dan terawatnya taman serta tanaman karena ada praja didalamnya. Mana bisa mahasiswa S2 dan S3 akan disuruh menyapu halaman dari PKD sampai wisma 14, sebelum mengikuti kegiatan perkuliahan oleh seorang Profesor, mana mungkin mahasiswa profesi kepamongprajaan yang sebagian besar sudah berusia lanjut harus diperintahkan untuk menanam dan atau menyiram tanaman. Ketika kita mampu berpikir secara sehat, maka kita dapat menyimpulkan bahwa ketika tidak ada praja maka tidak akan ada anggaran yang akan mengalir ke kampus Cilandak. Lantas bangunan-bangunan bersejarah ini akan dipelihara melalui dana apa ? Ketika kita mendengar isu bahwa wisma-wisma ini akan diprivatisasi/disewakan kepada mahasiswa S2 dan S3, sungguh membuka peluang yang besar terhadap praktik-praktik korupsi. Pasalnya biaya sewa aula yang sering digunakan untuk kegiatan kondangan, masuk dalam penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tidak jelas arah pertanggungjawabannya. 
Pemindahan aset-aset kantor membutuhkan lagi biaya yang besar dan mau tidak mau, suka ataupun tidak suka jika pimpinan mengambil kebijakan itu maka harus mau dan harus suka. Tidak lain adalah mengeluarkan biaya yang relatif besar untuk sewa tukang dan mobil angkut. Oleh sebab itu sekiranya kebijakan untuk relokasi praja IPDN kampus Cilandak ke Jatinangor, perlu dipertimbangkan kembali. Serta jangan lupa, lepas semua napsu tidak suka dalam menyusun formulasi kebijakan karena itu akan berpengaruh terhadap implementasi sebuah kebijakan (Willian N. Dunn, 1998).
Sumber Bacaan :
Bennis Warren. 1967. Organizational of the Future. Dallas Natemayer, Walter E., (edt) Personnel  
                             Administration,  International Personnel Management, Washington DC.
Giroth Lexie & Giroth Jacson. 1998. Kepamongprajaan. Rineka Cipta : Jakarta.
Labolo Muhadam. 2014. Memahami Ilmu Pemerintahan. Raja Grafindo Persada : Jakarta.
Ndraha Taliziduhu. 2007. Kybernology Sebuah Charta Pembaharuan. Sirao Credentia Center : Tangerang. 
_______________. 2008. Kybernologi Sebuah Metamorphosis. Sirao Credentia Center : Tangerang.
Surianingrat Bayu. 1992. Mengenal Ilmu Pemerintahan. Rineka Cipta : Jakarta.
Thoha Miftah. 2002. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Raja Grafindo Persada : Jakarta.
William N. Dunn. 1998. Analisis Kebijakan Publik. Terjemahan

Landasan Hukum :
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemeritahan Daerah
Perpres Nomor 1 tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Keppres No. 87 Tahun 2004 tentang Penggabungan STPDN ke dalam IIP.
Keppres No. 42 Tahun 1992 tentang Pendirian Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri,
Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2004 tentang Penggabungan STPDN ke dalam IIP.
Peraturan Menteri Dalam Negeri 43 Tahun 2005 tentang Statuta IPDN
SE Menpan Nomor : B/1268/M.PAN-RB/03/2016

Laman Berita :
http://wp.me/p3l9wx-Oa. “FH ULM Membuat Peserta Debat Mahkamah Konstitusi Jadi Nostalgia dan Terkejut” 28 April 2016





















Kepemimpinan Ahok dalam Perspektif Kybernologi

APA SALAH DAN DOSA KU ? 
(SEBUAH KRITIK TERHADAP DIRI SENDIRI)
“IPDN harus memproduksi magnanimous thought setajam mungkin.
Ingat !
Lebih baik jadi kepala ayam jantan (kecil tapi pekokok)
ketimbang menjadi ekor sapi (besar, tetapi hanya pengusir lalat)”
-Prof Dr. Taliziduhu Ndraha-
Ditengah kesibukan untuk menyusun syarat menjadi seorang sarjana, saya diberikan tugas khusus untuk menyusun suatu artikel ilmiah. Tugas khusus ini merupakan suatu kehormatan karena diberikan bukan atas pelanggaran karena kelebihan berat badan ataupun TK karena memakai trening di kelas, melainkan karena memang sudah giliran saya setelah membawakan makalah yang terakhir dengan judul “Quo Vadis Praja IPDN Kampus Cilandak”. Selain alasan kapasitas saya yang dituntut untuk menjadi lebih ketika mengikuti plato’s institute. Kesempatan yang besar bagi saya, ketika pengurus plato’s institute angkatan XXIV mendelegasikan agar makalah yang akan didiskusikan minggu depan, dalam kegiatan yang dianggap elit tersebut adalah makalah saya. Diskusi yang membahas isu-isu permasalahan negeri ini menjadi bahan perbincangan yang seringkali berujung pada suatu perdebatan diantara peserta diskusi. Makalah ini saya angkat kembali dengan alasan adanya keterkaitan dengan mata kuliah kita yaitu “Kepengikutan Pemerintahan” yang menyangut kepercayaan masyarakat terhadap suatu pemerintahan.
Perhelatan kali ini saya mengantar kita pada suatu isu yang kontroversial tentang sosok pemimpin  Provinsi DKI Jakarta. Basuki Tjahya Purnama dengan nama panggilan Ahok merupakan Gubernur di ibu kota negara setelah menggantikan Joko Widodo yang terpilih sebagai Presiden tahun 2014 silam. Kedua tokoh yang sangat fenomenal ini, menjadikan masyarakat Indonesia terbagi atas kelompok yang pro dan juga kontra dalam setiap kebijakan serta program pemerintahan. Meminjam pandangan filsafat Cina yang mengatakan “bahwa ketika seekor katak yang berada dalam satu gelas kemudian, gelas tersebut diberikan air panas secara otomatis katak tersebut akan meloncat karena panasnya air itu”. Dari pandangan tersebut ada nilai-nilai fundamental yang ingin disampaikan kepada kita, termasuk contoh yang terjadi di DKI Jakarta. Ketika kedua sosok ini sering mengusik akan kenyamanan para elit birokrat yang kian mengakar dalam zona nyaman pemerintahan terdahulu, tidak terkecuali para politisi yang sering memainkan uang rakyat untuk kepentingan pribadi tapi berkedok penambahan infrastruktur dari segi pelayanan kesehatan hingga pendidikan. 
Terlepas dari persoalan politik, yang kian hari semakin memanas ketika PDI-P mendeklarasikan untuk mendukung petahana dalam pencalonan Gubernur tahun 2017 mendatang, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dinobatkan sebagai Gubernur terbaik se-Asia versi majalah Globe Asia. Disampaikan di dalam ulasan majalah tersebut bahwa belum ada yang seberani Ahok dalam menjalankan berbagai kebijakan yang dianggap tidak demokratis di pusat ibukota negara, apalagi Ahok merupakan golongan minoritas. Saya yakin bukan karena tingkat pendidikan masyarakat Indonesia yang masih rendah sehingga begitu mudah diadudomba dengan isu-isu agama, suku, ras, antar golongan, melainkan karena provokasi yang digerakkan oleh kaum-kaum pemikir, kaum intelek yang mengaggap bahwa Ahok adalah pemimpin yang tidak sopan dan kafir. Saya berpikir bahwa Jokowi juga yang merupakan sosok pemimpin yang sederhana, sopan dan agamais toh masih dibenci oleh segelintir orang. Ahok dinilai berhasil dalam meyakinkan rakyat bahwa dengan sungguh-sungguh bekerja dengan sebaik mungkin untuk membenahi ibukota DKI Jakarta, dari pada hanya menggunakan isu SARA untuk topeng dalam membodohi masyarakat dan merampok uang rakyat.  
Lantas mengapa masyarakat begitu segan terhadap Ahok ? Ternyata berdasarkan berbagai penelusuran yang begitu detail ada banyak sekali keberhasilan-keberhasilan Ahok sejak menjabat sebagai Anggota DPRD Belitung dan Bupati Belitung Timur hingga saat ini. Meskipun keberhasilan Ahok itu tidak diakui, akan tetapi saya tetap akan menguraikan perubahan-perubahan yang dialami oleh Provinsi DKI Jakarta dimasa kepemimpinan Basuki Tjahya Purnama, yaitu :
1. Banjir
“Masalah Banjir di Jakarta adalah bukti kegagalan politik Pemerintah Jakarta akan penataan tata ruang”, kata seorang pakar dari Universitas Trisaksi, Yayat Supriatna. Banjir yang tiap tahun menyambangi Jakarta, itu bukan tanggung jawab Ahok semata. Hal ini diakui oleh Wakil Ketua DPRD Provinsi DKI Jakarta Lulung Lunggana berkata bahwa masalah tersebut “Itu bukan salah Pak Ahok, banjirkan masalahnya ada di hulu”. Dalam beberapa media sebelumnya memberitakan bahwa dari zaman Sunda Kelapa, Batavia dan bahkan sekarang menjadi Jakarta masalah banjir masih menjadi trending topic di kalangan masyarakat. Akan tetapi sadarkah saudara bahwa berdasarkan data dari Dinas Tata Air Provinsi DKI Jakarta tahun 2016, titik banjir di Ibu Kota Negara menurun drastis dari jumlah 486 titik genangan menjadi 30 titik genangan. 
Sungai-sungai sudah direvitalisasi sehingga nampaknya tidak seperti dulu lagi yang dangkal dan penuh dengan sampah. Ikan-ikan mulai bercanda, riang dan gembira karena nyaman dengan lingkungan baru sebagai bukti nyata kinerja Basuki Tjahya Purnama. Walaupun itu tidak diakui oleh Anis Baswedan, yang menyatakan bahwa “sungai Jakarta bersih berkat Foke”. Manusia bisa saja memutarbalikan fakta tetapi mesin “google” tidak bisa. Sebab jika kita mengetik di google “sungai bersih karena Foke” yang keluar adalah Did you mean (Mungkin maksud Anda adalah) “sungai bersih karena Ahok”. Coba kita bayangkan seorang ahli bisa menipu dirinya sendiri karena perbedaan kepentingan politik. Hal itu juga diamini oleh Roy Suryo (Pakar Telematika) yang menyatakan bahwa “Google sebut sungai bersih karena Ahok, bukan berarti itu fakta”. Artinya beliau tidak mengakui itu, sehingga benar adanya apa yang disampaikan Muhadam Labolo (2016:2) bahwa “rasionalitas dapat dikalahkan oleh orientasi terhadap kebahagiaan yang instan. Mereka tampak cerdas dalam balutan Profesor dan doktor tapi dapat kehilangan rasionalitas ketika diperhadapkan dengan politik yang kotor”.
Bukankah itu suatu keberhasilan ? Peribahasa lama menjadi jawaban atas semuanya itu “Nila setitik merusak susu sebelanga” tidak ada artinya prestasi-prestasi yang telah kira raih ketika Kemang Village mengalami kebanjiran 27 Agustus 2016 silam. Semua menyalahkan Pemprov DKI, Dinas Tata Air, apalagi Ahok, mengapa selalu pemerintah yang disalahkan ? pertanyaan ini membuat saya harus membuka kembali catatan-catatan Ryaas Rasyid, 1996 “Makna Pemerintahan; Tinjauan dari segi etika dan kepemimpinan”.
2. Kemacetan
Sistem ganjil genap pernah menyita perhatian seluruh masyarakat Indonesia ketika pertama kali diuji coba pada tanggal 26 Juli 2016, sistem tersebut merupakan salah satu strategi untuk mengatasi  kemacetan di daerah yang terkenal dengan slogan “bukan Jakarta kalau tidak macet”. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta tahun 2015 jumlah kendaraan bermotor sudah mencapai 16.072.869 unit, jika seluruh kendaraan ini disusun tidak akan mencukupi panjang jalan di DKI Jakarta yang hanya 6.956.842,26 meter. Artinya setiap satu unit kendaraan bermotor hanya mencapai 0,43 meter atau jika dibandingkan dengan luas jalan di DKI Jakarta 48.502.763,16 m maka satu unit kendaraan bermotor hanya mencapai 3,02 m. 
Upaya untuk membangun jalan terkendala dengan terbatasnya lahan yang ada, sehingga pertumbuhan panjang jalan sangat kecil dibandingkan dengan yang dibutuhkan. Oleh karena itu, pemerintah telah berupaya dengan berbagai kebijakan seperti penambahan moda transportasi umum transjakarta, pembangunan jalan layang non tol Casablanca-Tanah Abang, pelarangan sepeda motor, untuk melintasi wilayah tertentu, pembangunan mass rapid transit (MRT) serta Light Rapid Transit hingga kebijakan yang mendorong para pegawai negeri di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggunakan kendaraan umum. Aturan ini tertuang dalam instruksi Gubernur Nomor 150 tahun 2013 tentang penggunaan kendaraan umum bagi pejabat dan pegawai Pemprov DKI Jakarta.
3. Reformasi Birokrasi
“Pejabat di era Ahok dari pimpinan bisa terjun bebas menjadi staf”. kalimat tersebut pernah menjadi topik salah satu media massa dalam membahas masalah seleksi terbuka di DKI Jakarta. Seleksi terbuka dalam tataran jabatan eselon 1 hingga 4 sempat menuai kritik dan pujian yang berujung pada suatu perdebatan serta bermuara  pada sikap benci dan dendam. Pasalnya Pemprov DKI Jakarta dengan tegas mencopot pejabat-pejabat yang tidak memiliki inovasi kreativitas dalam memimpin suatu jabatan, tentunya bukan sembarang copot mencopot melainkan melalui suatu proses evaluasi yang menghasilkan suatu bukti bahwa pekerjaan yang dilakukan bersifat stagnan. Pada prinsipnya orang nomor satu di DKI Jakarta mencari pejabat yang ingin kerja, kerja untuk melayani masyarakat sesuai dengan profesionalisme yang dimilikinya.
Lelang jabatan merupakan salah satu amanat dari reformasi birokrasi. Sudah muak masyarakat berhadapan dengan pejabat yang korupsi, kolusi dan penuh nepotisme serta pengelolaan birokrasi yang berbelit dan sengaja dibuat rumit sehingga pelayaanan publik sering diabaikan. Itu semua telah direformasi oleh Pemprov DKI Jakarta; mulai dari pengelolaan keuangan telah berbasis e-budgeting, pelayanan publik secara gratis, cepat dan mudah melalui PTSP online yang dikelola oleh BanPTSP, seleksi terbuka untuk mengisi jabatan struktural serta penolakan APBD-P tahun 2014 yang mengarah pada indikasi tindak pidana korupsi. Bukankah itu semua merupakan suatu keberhasilan, ingat tidak semua masyarakat di Indonesia manikmati hal yang sama karena itu adalah perbedaan fundamental dari sosok seorang pemimpin. alasan apalagi masyarakat ingin menyalahkan Ahok ?.
Apakah terkait kasus reklamasi ? atau penggusuran dimana-mana ?. Media mengekspos bahwa masyarakat DKI Jakarta menolak karena masyarakat pribumi terus dirugikan. Yang menjadi pertanyaannya, yang mana yang dikatakan masyarakat pribumi di DKI Jakarta ?, bagi saya sebagian besar penduduk disini itu hanyalah pendatang, termasuk saya dan anda hanya untuk mengais rezeki  dan menimbah ilmu di Ibukota Negara. Toh buktinya setiap kali Lebaran kota Jakarta seperti kota mati, serasa milik pribadi karena tidak ada penduduknya; semua lagi mudik. Tapi mengapa kita menolak kebijakan pemerintahan DKI Jakarta dengan mengatasnamakan penduduk pribumi ?.  apakah sebagian penduduk Indonesia sudah tidak ada rasa malunya lagi ataukah ada kepentingan dibalik semua itu ?. Selanjutnya mengapa kasus reklamasi baru dimasa kepemimpinan Ahok dipermasalahkan ? bukankah izin prinsip itu sudah ada semenjak zaman Gubernur Sutiyoso dan pendahulunya ?. Dari situlah saya berkesimpulan bahwa bukan programnya/kebijakannya yang dipersoalkan melainkan Ahoknya yang dipermasalahkan. Seandainya reklamasi itu dilanjutkan oleh Anis Baswedan atapun Agus Yudhoyono misalnya, mungkin tidak akan menjadi kasus seperti sekarang ini. Karena kelompok penekan (presure group) yang mayoritas berada dipihak Anis dan Agus. Kita lihat saja nanti, karena reklamasi di Jakarta pasti akan dilanjutkan karena itu merupakan suatu kebutuhan bukan keinginan, mengingat tekanan eksternal MEA yang mendorong DKI Jakarta sebagai kawasan strategis Nasional, jika ini tidak dilakukan tergilas kita oleh perubahan.
Alasan keberhasilan diatas sudah cukup memberikan gambaran kepada kita bagaimana seorang Gubernur me-menejemen suatu pemerintahan dengan persoalan-persoalan yang kompleks.   Jakarta sekarang ini butuh pemimpin yang tegas, keras dan berhati besar karena mulai hadirnya surga sampai neraka itu ada di Jakarta, sehingga rakyat mau maju atau terkebelakang, pintar atau bodoh, kaya atau miskin tergantung pemerintahannya. Kualitas pemerintahan tergantung si pemimpin. Kalau pemimpin pemerintahan adalah seorang yang baik maka baiklah pemerintahan itu, demikian pula sebaliknya. Pemimpin adalah pembawa kemakmuran dan kebahagiaan. Sebaliknya ia juga dapat menjadi pembawa bencana.
SEBUAH KRITIK TERHADAP DIRI SENDIRI
Bukankah Jokowi, Ahok, Risma, Ridwan Kamil dan Nurdin Abdullah merupakan sosok ideal yang dibutuhkan dalam perspektif kybernologi ?. Justru orang-orang seperti itulah yang harus kita dukung bukan dimusuhi, mereka yang mampu menerobos zaman serta memiliki pemikiran dan kekuatan yang besar, inovasi, kreativitas serta mandiri. Seandainya Taliziduhu Ndraha bisa bangkit kembali dari lobang kuburnya pasti beliau yang akan berdiri dibarisan paling depan sebagai tameng untuk menjawab kritikan pedas serta menerobos argumentasi yang menghambat implementasi fungsi-fungsi pemerintahan, layaknya seorang aktor Mike Banning yang melindungi nyawa Presiden Amerika Serikat dari ancaman pembunuhan oleh teroris dalam film London Has Falen.
Sabagai orang yang memahami makna dan esensi pemerintahan, rasanya keberhasilan-keberhasilan yang telah dijelaskan tadi sudah menjawab kebutuhan masyarakat akan hadirnya suatu pemerintahan. Tinggal kita memberikan masukan-masukan sesuai etika pemerintahan dalam kerangka perubahan, bukan kita berkoar-koar memprovokasi masyarakat gulingkan ahok karena kebijakan yang kontorversial. Yang menjadi perenungan kita, kebijakan mana coba yang tidak menuai kritikan ? Edward III dan Willian N. Dunn dalam buku-bukunya tentang kebijakan publik menyatakan tidak ada suatu kebijakan yang diterima secara utuh dalam konteks negara demokrasi. 

Ketika kita memberikan masukan kepada pemerintah itu artinya kita peduli sebagai tingkat partisipasi masyarakat, tapi ketika kita memberikan masukan tanpa solusi maka tidak ada bedanya lulusan IPDN dengan mahasiswa luar yang terkenal dengan aksi demontrasi, terkesan anarkis dan liar. Disinilah kualitas kita diuji sehingga kita yang bernaung dalam sebuah sistem, sistem pemerintahan secara umum perlukah  kita dengan kecakapan yang dilatih selama 4 tahun di lembah manglayang melakukan aksi provokasi, demonstrasi dan bahkan kudeta sekalipun ? saya pikir mereka yang menanggap perlu, harus dilatih kembali seraya diingatkan 12 nilai kepamongprajaan (Taliziduhu Ndraha, 2008:1-7).