Kamis, 12 Mei 2016

Mengapa saya dan anda ingin menjadi pelayan khusus ?

Mengapa setiap anggota jemaat memiliki ambisi menjadi pelayan khusus ? Salah satu sebabnya karena fenomena gerejawi yang mulai condong pada nilai keistimewaan. Jelasnya keistimewaan itu adalah kekuasaan untuk mencari nama. Kekuasaan itu abstrak, tetapi termanifestasi dalam perilaku antara mereka yang menguasai terhadap yang dikuasai berdasarkan kontrak sosial dalam jemaat.  
Kekuasaan dapat berias wajah seperti malaikat, tatkala tampil dalam perilaku lembut seperti pembagian raskin dan bantuan langsung tunai. Kekuasaan yang berbuntut untuk mencari nama itulah yang menjadi dambaan banyak orang. Ingin disanjung, diperhatikan juga menunjukan bahwa dia mampu menduduki posisi strategis dalam pelayanan diaras jemaat, wilayah dan bahkan sinodal. Tanpa disadari bahwa seantero jemaat menaruh semua amanah dalam kerangka tujuan bersama. 
Soal tujuan boleh saja orang banyak tadi sepakat, tetapi soal cara bergantung pada siapa yang memerintah. Kekuasaan istimewa tentu saja dapat mewujudkan apa saja alat yang paling efektif untuk mencapai tujuan bersama. Sayangnya, kebanyakan kita memuji untuk semua tujuan yang telah kita sepakati bersama, tapi lalai dalam mengawasi cara seperti yang patut dilakukan oleh pemimpin gerejawi terpilih. Kepatutan tentu berhubungan dengan etika. Kalau dalam bidang saya dikenal dengan etika pemerintahan tetapi dalam kegiatan bergereja pasti ada etika gerejawi. 
Mengadopsi teori dalam konteks berdemokrasi, menurut William Riker (1982) [2] dalam buku Prof Dr Moh Mahfud MD, keunikan demokrasi justru terletak pada kesepaduan antara tujuan dan cara. Tidak bisa dipungkiri, gereja di era reformasi menganut sistem yang sama persis dengan sistem pemilihan umum di Indonesia. Dimana seluruh anggota jemaat berhak dipilih dan memilih. Banyak yang menduduki jabatan gerejawi dengan menempuh cara ilegal. 
Mulai dari kampanye secara terang-terangan sampai kampanye hitam, politik uang, pembagian sembako yang berkedok kebaikan tanpa angin lalu serta manipulasi pemilihan dengan mendaftarkan diri tanpa sertifikat penataran dasar (bagi kategorial) sehingga saat ini kita tidak dapat membedakan manakah politisi dan manakah seorang hamba yang diurapi.  Manakah iblis dan manakah malaikat. Apakah seorang malaikat berperilaku seperti iblis ? ataukah iblis yang menyerupai seorang malaikat ketika masa pencalonan datang? Kita lihat saja, pada saat mendekati pemilihan pelayan khusus di aras jemaat, kandidatnya bukanlah pilihan atas pertimbangan jemaat akan tetapi pencalonan layaknya pemilihan anggota legislatif. Fakta dilapangan, adanya calon pelsus yang membagikan sembako bahkan uang dengan nominal Rp. 50.000 per kepala [3], berkedok seperti kebaikan santa claus tanpa angin. Melanggar etika gerejawi jauh lebih berbahaya daripada sekedar melanggar hukum positif, sebab urgensinya yang membedakan ialah sanksi yang akan diterima. Memang saat ini kita belum menerima sanksi dari Yang Maha Kuasa layaknya kasus pengacara ondang OC Kaligis yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Di dunia kita boleh kongkalikong dengan hukum positif, mengajukan banding, pra peradilan [4] akan tetapi diakhirat ketika masa Penghakiman itu datang, kita tidak dapat mengajukan banding ataupun praperadilan.  Dalam tata gereja tidak ada kita tidak memiliki mekanisme yang baku untuk menyampaikan beberapa permasalahan tadi, penulis pernah berupaya menyampaikan kasus ini kepada Sekretaris Umum (Sekum) GMIM periode 2008-2013, akan tetapi tidak ada petunjuk yang pasti atas tindak lanjut kasus tersebut sehingga jemaat hanya bisa melihat dan mengelus dada sambil berkata “Mungkin dialah kehendak Tuhan”. Kita hanya bisa berpasrah menikmati kesengsaraan akibat penyakit gila oleh segelintir orang, ada yang gila jabatan, gila uang, gila mencari muka, dll. 
Input dari proses yang panjang tadi tentunya tidak lepas dari kepentingan-kepentingan tertentu. Tujuan yang tadinya mulia dengan alasan klasik ingin melayani dengan tulus hati, memberi diri untuk bersaksi akan kebenaran firman Tuhan serta merangkul orang lain untuk duduk bersekutu berubah drastis dengan kepentingan kotor seorang pelayan.  Ini tampak dengan cara-cara pengelolaan keuangan gerejawi baik di sinode, wilayah maupun jemaat. Lewat ketukan palu, semua perencanaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Sinode (APBS) dan juga Anggaran Pendapatan dan Belanja Jemaat (APBJ) disahkan dengan penuh kegembiraan disana-sini, seakan mereka telah berjuang sampai titik darah penghabisan.  Sebenarnya, semua ketukan palu tadi tidak lebih dari sinyal persetujuan atas semua persengkokolan yang telah dibangun bersama. Pada tingkat yang lebih jauh, ia menandai dimulainya operasi berdasarkan kepentingan sejumlah orang diatas adagium siapa dapat apa dan berapa banyak, bukan hanya itu dalam sidang-sidang untuk merumuskan suatu kebijakan yang perumusannya sampai larut malam, membuat pelayan khusus itu mendapat uang dengan istilah 3D (duduk, diam, dan doi) [5].  Berusaha membodohi jemaat dengan mencatut nama Tuhan, tata gereja bahkan tokoh yang terkenal dalam aras tertinggi suatu organisasi. Inilah contoh penggunaan kekuasaan kotor yang terkadang tidak disadari oleh jemaat kita. Makna kekuasaan jika dipahami untuk dilayani bukan melayani sebab melayani melahirkan tanggungjawab, sedangkan dilayani memunculkan perasaan kenikmatan Akhirnya, para pelayan tadi seperti lupa daratan, ritualitas formal mereka nikmati lewat khotbah di Gereja dan kolom/sektor yang memukau penuh kebohongan, karena sesuai fakta yang terjadi tidaklah demikian. Mereka hanya mencari nama, berusaha mengajarkan orang lain sementara diri mereka tidak mampu mereka ajar dan secara fungsional mereka gagal menjalankan amanah jemaat lebih terlebih mereka gagal akan panggilan Tuhan, menjadikan pelayan Tuhan sebagai suatu profesi yang dapat menghasilkan uang dan juga menempatkan pelayan sebagai suatu jabatan yang.  Terlepas dari semua itu, disanalah daya tarik menjadi seorang pelsus, sehingga mengapa anda dan saya teramat ambisi menjadi ingin menjadi pelsus. Saya sangka mereka yang berada di lingkungan gerejawi, setidaknya memperoleh jaminan perlindungan minimal pada aras kepentingan sesaat. Kedepan jika hal ini terus terjadi maka kita tidak dapat membedakan mana gereja sebagai institusi dan parlemen sebagai lembaga negara. 

Catatan Kaki : 
[1] Jenuard M T Nelwan, Praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri Angkatan XXIV. Dalam berjemaat ia diamanatkan menjadi Wakil Ketua Komisi Pelayanan Anak di salah satu jemaat GMIM periode 2013-2017. 
[2] MD Mahfud. 2003. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Rineka Cipta : Jakarta. 
[3] Kejadian ini terjadi berdasarkan observasi penulis di salah satu jemaat Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM), dalam masa pemilihan Pelsus periode 2013-2017.
[4] Kasus Budi Gunawan dan Dahlan Iskan (2015) menjadi babak baru dalam dunia kehakiman negeri ini, sebab setelah Hakim Sarpin menerima gugatan Budi Gunawan atas status tersangka Tipikor oleh KPK merupakan keputusan yang bersifat inkrah artinya sudah mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan harus dilaksanakan oleh semua pihak yang terkait juga bisa digunakan sebagai yurisprudensi bagi hakim yang lain dengan kasus yang sama 
[5] Doi dalam isitlah Manado diartikan sebagai uang