Senin, 08 Mei 2017

Tampung Tantra

MENGGALI KEMBALI MAKNA PEMERINTAHAN TAMPUNG TANTRA

Oleh,

Jenuard Mosses Teguh Nelwan

Terbatasnya literasi yang membahas tentang pemerintahan tampung tantra, membuat istilah ini tidak terlalu poluler di kalangan masyarakat. Hanya segelintir orang saja yang dapat memahami substansi ini termasuk di dalamnya kalangan akademisi, itupun hanya sedikit dari ratusan pakar yang berlatarbelakang ilmu pemerintahan (bestuurnswetenschap) [1]. Kelangkaan inilah membuat ketidakmampuan para mahasiswa profesi kepamongprajaan bahkan praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri sekalipun yang berada dalam naungan institusi pemerintahan dalam negeri, sulit untuk menerjemahkan sekaligus mendeskripsikan makna hakiki dari pemerintahan tampung tantra. Akan tetapi, dalam tulisan ini penulis hendak mengemukakan beberapa pandangan terkait dengan pemerintahan tampung tantra.

Pemerintahan tampung tantra terdiri dari tiga kata yaitu : pemerintahan, tampung dan tantra. Dalam hal kata pemerintahan, berasal dari suku kata “perintah”. Menurut Bayu Surianingrat (1992:9), kata perintah berarti :
  1. Adanya “keharusan”, menunjukan kewajiban untuk melaksanakan apa yang diperintahkan;
  2. Adanya dua pihak yaitu yang memberi dan yang menerima perintah;
  3. Adanya hubungan fungsional antara yang memberi dan yang menerima perintah;
  4. Adanya wewenang atau kekuasaan untuk memberi perintah.
Sejalan dengan itu juga, Taliziduhu Ndaraha (2005:140-141) mendefinisikan kata Kepemerintahan, terdiri atas kata :

PEMERINTAH :
Bhs. Inggris   : Government berasal dari kata to govern artinya memerintah.
Bhs. latin       : Gubernare artinya gerik kybernan, steer, kemudi kapal)
Bhs. Belanda : Bestuur diartikan sebagai mencangkup seluruh kekuasaan  

Oleh karena itu Pemerintah adalah sistem yang menjalankan wewenang dan kekuasaan atau sistem yang menjalankan perintah dari yang memerintah, sedangkan pemerintahan adalah proses, cara perbuatan memerintah. Sehingga kepemerintahan adalah segala sesuatu yang menyangkut keadaan pemerintah. 
       Selanjutnya adalah kata tampung tantra. Secara etimologi, tampung bermakna menerima, mengumpulkan, menadah, mengurus. Sedangkan tantra berasal dari bahasa sansekerta yang berarti prinsip, sistem, doktrin. Berdasarkan penjelasan diatas maka secara sederhana kita memahami, pemerintahan tampung tantra adalah sistem yang menampung suatu urusan yang tidak dikerjakan oleh pemerintah. Artinya terjadi kekosongan pemerintahan, sehingga pemerintahan tampung tantra sama halnya dengan asas Vrij Bestuur [2]. Vrij Bestuur berasal dari bahasa Belanda Vrij artinya kosong, sedangkan Bestuur bermakna kekuasaan pemerintahan. Oleh karena itu secara umum dapat disimpulkan bahwa Pemerintahan tampung tantra/Vrij Bestuur adalah kewenangan/urusan yang tidak termasuk dalam asas desentralisasi, sentralisasi dan tugas pembantuan (medebewind). Lantas yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apa yang menjadi urusan pemerintah ketika pekerjaan itu ada tetapi aparat pelaksananya itu tidak ada ?. Contoh sederhananya seperti ini, di suatu tempat misalnya Kecamatan Airmadidi terjadi ketidakhadiran petugas-petugas dari dinas kebersihan Kabupaten Minahasa Utara, sehingga terjadi penumpukan-penumpukan sampah dibeberapa tempat, lingkungan masyarakat yang kotor, dan terjadi pencemaran limbah pada air  sungai, hal tersebut terjadi karena aparat pelaksana dari Dinas Kebersihan itu tidak ada/kosong. Oleh karena itu, apakah sampah-sampah tersebut hanya dibiarkan begitu saja, otomatis walaupun itu bukan merupakan tanggungjawab dari petugas/aparat kecamatan tetapi pekerjaan tersebut dibebankan kepada pemerintah kecamatan.
Dalam konteks pemerintahan daerah, landasan regulasi yang dapat dijadikan sebagai acuan adalah UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan perundang-undangan tersebut, mengatur cakupan tugas dan fungsi dari pemerintah. Pandangan Soewargono dalam Aziz Haily (2009:3) [3] yang semula fungsi pemerintahan itu hanya terbatas, yaitu menciptakan keamanan dan ketertiban (staat en orde) untuk melindungi rakyat, berkembang agar juga berfungsi mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Pandangan tersebut juga dispesifikan oleh mantan rektor Institut Ilmu Pemerintahan yaitu Ryaas Rasyid (2002:19) yang menyimpulkan tugas pokok pemerintah negara modern atau empat fungsi utama yang hakiki yaitu pengaturan, pelayanan, pembangunana dan pemberdayaan.
Atas dasar regulasi tersebut maka, penulis dapat menjelaskan bidang tugas dari tampung tantra, serta tantra, dan swatantra. Serta tantra atau sering disebut medebewind/tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desadari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu [4]. Konsep tersebut memuat dua unsur pokok, yaitu : tugas yang diberikan kepada pemerintah daerah dan kewajiban untuk mempertanggunjawabkan kepada siapa yang menugaskannya [5]. Dalam pandangan E. Koswara (2012:71) ada tiga hal penting yang perlu disimak dan memahami serta tantra, yaitu :
  1. Apakah yang dimaksud dengan “daerah”, apakah daerah provinsi yang berstatus sebagai daerah otonom terbatas tidak mungkin bisa menerima tugas pembantuan dari pemerintah atau memberikan tugas pembantuan kepada daerah kabupaten/kota dan desa;
  2. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai hak otonomi asli (indigenous autonomy) berdasarkan hak-hak  tradisionalnya yang diakui oleh negara sepanjang amsih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi tidak mungkin serta tantra diberikan kepada desa, serta tantra hanya diberikan kepada daerah-daerah otonom  yang mempunyai kewenangan otonomi penuh  seperti kabupaten/kota.
  3. Pemberian “serta tantra” yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dari pemberi serta tantra adalah tidak tepat dengan konsep “serta tantra”. Dalam konsep serta tantra yang diperlukan hanyalah pembiayaan, sedangkan sarana dan prasarana serta personil menggunakan alat-alat dan perangkat pemerintah daerah yang 
  4. diberi serta tantra. Sebab kalau semua pembiayaan, peralatan dan personil diberikan oleh yang menugaskan tugas pembantuan, itu lebih mirip dengan konsep dekonsentrasi.                                                                                                                                              
        Adapun swatantra bermakna etimologi sebagai asas melakukan sendiri. Swa artinya sendiri, sedangkan tantra sama halnya dengan yang dijelaskan diatas sehingga dapat dikatakan bahwa swatantra adalah daerah melakukan sendiri apa yang menjadi urusannya. Inilah yang menjadi dasar otonomi daerah karena swatantra dapat diartikan sebagai daerah otonom. Daerah otonom merupakan selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sementara kewenangan dari daerah otonom berasal dari asas desentralisasi. Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi. 
Oleh karena itu, cakupan dalam bidang tugas dari tampung tantra, serta tantra, dan swatantra termuat dalam No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah,  Bab IV UU mengenai urusan pemerintahan. Dari UU tersebut kita dapat memperoleh informasi bahwa, urusan pemerintahan terdiri dari tiga bagian penting, yaitu : Urusan absolut (urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat), urusan konkuren (urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota), serta urusan pemerintahan umum (urusan pemeritnahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan).
        Pemberlakuan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta merta telah menciptakan ketidakpastian dibeberapa bidang layanan publik yang kewenangannya ditarik dari kabupaten/kota. Tiba-tiba saja seluruh proses perizinan di sektor pertambangan, kehutanan dan kelautan yang selama ini dikelola pemerintah kabupaten/kota harus dihentikan. Selajutnya juga pembinaan terhadap sekolah-sekolah SMA dan SMK bersama para gurunya serta pengawasan atas tenaga kerja terlepas dari pemerintah kabupaten/kota.
Melihat kondisi saat ini, betapa sejumlah Propinsi kewalahan memikirkan bagaimana mengelola tambahan personil yang jumlahnya ribuan dari dinas-dinas yang dihapuskan di seluruh kabupaten/kota dalam propinsi itu. Bagaimana menyediakan ruang kantor untuk menampung mereka yang harus masuk ke dinas propinsi lengkap dengan pemindahan seluruh arsip dan dokumen-dokumen yang ada. Bagaimana menyediakan anggaran untuk tunjangan mereka yang selama ini ditanggung oleh APBD kabupaten/kota, bagaimana melanjutkan progran sekolah SMU dan SMK gratis yang selama ini menjadi beban APBD kabupaten/kota, bagaimana melayani permohonan ijin usaha, pembinaan, dan pengawasan atas seluruh operasi bidang pertambangan, kelautan, kehutanan di seluruh wilayah propinsi.
Di kabupaten/kota sendiri terjadi kebingungan tentang apa yang harus mereka lakukan dalam fase transisi. Sampai saat ini, menjelang 2 tahun berlakunya UU No.23 tahun 2014 belum lahir satu pun Peraturan Pemerintah yang dapat menjadi acuan pelaksanaannya. Terjadi kevakuman dan stagnansi yang panjang. Implementasi ke depan pun belum terjamin akan berlangsung mulus. Akan ada kelelahan dan komplain masyarakat yang selama ini cukup berurusan dengan pemerintah kabupaten/kota  di bidang-bidang layanan yang ditarik itu, karena harus melalui jalan panjang ke propinsi. Spirit otonomi yang diletakkan di kabupaten kota untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan, sudah dengan sendirinya hilang.
Bertolak dari deskripsi dan argumen yang disajikan secara singkat di atas, penulis sampai kepada kesimpulan sederhana bahwa UU No.23 tahun 2014 sepanjang menyangkut penarikan kewenangan dari kabupaten/kota adalah sebuah langkah yang keliru. UU ini tidak menyelesaikan masalah yang selama ini mungkin ada di daerah, tetapi justru menciptakan masalah baru. Oleh sebab itu, seharusnya Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan/uji materi (judicial review) yang dilakukan oleh asosiasi pemerintah kabupaten seluruh Indonesia (Apkasi) sebagaimana keterangan ahli Prof. Ryaas Rasyid,MA., Ph.D, pada tanggal 14 April 2016.



Catatan Kaki:
[1]  S. Pamudji. Dalam sebuah makalah yang berjudul “Pembahasan Atas Hubungan Ilmu Pemerintahan dengan Ilmu Administrasi Negara”. 
[2]  Asas ini memiliki perbedaan dengan Freies Ermessen. Secara sederhana kita memahami asas Vrij Bestuur itu seperti ini di mana pekerjaan itu ada tetapi aparat pelaksananya tidak ada. Sedangkan asas Freies Ermessen adalah pemerintah bebas mengurus dan menemukan inisiatif pekerjaan beru, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ataupun ketentuan-ketentuan lain yang berkenaan dengan norma suatu tempat.
[3]  Lihat, Haily Aziz. 2009. Pemantapan Proses Otonomi Daerah dam Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan. Sebuah orasi ilmiah, pengukuhan guru besar di Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Jakarta, 16 Juni 2009.
[4]  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, pasal 1 ayat (9)
[5]   Koswara E. 2012. Pemerintahan Daerah : Konfigurasi Politik Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dulu, Kini dan Tantangan Globalisasi. Jakarta : Yayasan Damandiri.


Daftar Pustaka

Buku
Koswara E. 2012. Pemerintahan Daerah : Konfigurasi Politik Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dulu, Kini dan Tantangan Globalisasi. Jakarta : Yayasan Damandiri.

Labolo Muhadam, dkk. 2015. Dialetika Ilmu Pemerintahan. Bogor : Ghalia Indonesia.

Ndraha Taliziduhu. 2005. Kybernologi Beberapa Konstruksi Utama. Tangerang : Sirao Credentia Center.

Rasyid Ryaas. 2002.  Menolak Resentralisasi Pemerintahan. Jakarta : Millenium Publisher.

Surianingrat Bayu. 1992. Mengenal Ilmu Pemerintahan. Jakarta : Rineka Cipta.


Orasi Ilmiah 

Haily Aziz. 2009. Pemantapan Proses Otonomi Daerah dam Evaluasi Penyelenggaraan PemerintahanSebuah orasi ilmiah, pengukuhan guru besar di Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Jakarta, 16 Juni 2009.


Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan 



Menggugat Superioritas Sistem Pengasuhan IPDN

MENGGUGAT SUPERIORITAS SISTEM PENGASUHAN IPDN [1]

Oleh,  Jenuard Mosses Teguh Nelwan [2]

“IPDN harus memproduksi magnanimous thought [3] setajam mungkin. 
Ingat ! 
Lebih baik jadi kepala ayam jantan (kecil tapi pekokok) 
ketimbang menjadi ekor sapi (besar, tetapi hanya pengusir lalat)”
 -Prof Dr. Taliziduhu Ndraha-

Gundull !!! Lari….. Jongkok….. Tiarap….. merayap punggung….. guling…. Siaappp, Grraaaakkkkkk…. kata-kata yang tidak asing lagi dalam telinga para praja, sebab melalui kata tersebut konon katanya dapat membentuk sikap dan mental untuk menjadikan praja lebih tertib dan berdisiplin. Memang sebagian orang dengan sejumlah argumentasi pro, setuju dengan pola pendidikan seperti itu. Akan tetapi kita juga tidak bisa menyalahkan dengan mereka yang memiliki segudang alasan untuk mengubah pola pendidikan yang terlalu berorientasi pada sistem sentralisasi orde baru.
Kita semua memang memaklumi pola pendidikan yang keras dari institusi yang didirikan oleh Ir. Soekarno di Malang yaitu APDN, karena situasi pada saat itu dianggap perlu ada kader-kader yang didik secara khusus selain untuk menggerakkan sistem pemerintahan juga dapat mengamankan situasi negara. Bahkan jauh sebelum itu, Ambtenar OSVIA yang dibentuk oleh Belanda juga telah didirikan untuk memperkuat kekuasaan Belanda di Indonesia melalui kaum elite pribumi. Pasti kita semua dapat membayangkan, pola pendidikan seperti apa yang dibangun oleh Negara yang memprakarsai tanam paksa di Indonesia. Sehingga sistem yang kejam, trengginas dan cenderung mematikan itu harus dipaksakan, dan sistem tersebut diwarisi sampai sekarang. Makanya jangan heran para jebolan APDN, IIP dan STPDN sebagian besar orientasi berpikir mereka itu harus dilayani, layaknya seorang Pangrehpraja [4]

Zaman telah berubah tetapi tradisi tidak dapat dihilangkan, itu merupakan suatu doktrin yang tidak relevan. Era orde baru memang kita bisa menghadapi masyarakat dengan tendangan dan pukulan sampai-sampai ada yang membawa pentongan. Tetapi diera reformasi itu semua telah berubah, hak untuk berbicara dan memprakarsai itu semakin bebas. kita tidak dapat lagi menggunakan cara-cara kekerasan untuk menghadapi aksi damai jilid I, II, III dst, melainkan dengan cara-cara demokrasi. Masyarakat diajak berdiskusi, musyawarah untuk mencapai suatu kesepakatan agar keduanya saling menguntungkan, bahkan para ahli sampai mengajak kita untuk beradu gagasan sehingga menimbulkan perdebatan dalam mempertahankan suatu kebenaran.
Pertanyaanya bagaimana jika praja IPDN saat ini tidak dibekali dan dilatih cara-cara yang demokratis tersebut ? artinya berbicara dan mengungkapkan pendapat secara konseptual. Apalah jadinya ketika IPDN sebagai lembaga pendidikan yang mencetak kader pamongpraja (Bayu Sarianingrat, 1992; Lexie Giroth & Jacson Giroth, 1998) hanya memiliki keahlian untuk membuat kopi saja, kesigapan ketika disuruh untuk memfoto copy, merapihkan meja pimpinan juga sebagai pengatur kabel dalam acara-acara besar kenegaraan maupun daerah. Memang kita dituntut untuk memiliki sikap loyalitas terhadap pimpinan, saya pikir itu merupakan hal yang fundamental dalam sistem birokrasi weberian.  Akan tetapi sistem seperti itu sudah mulai luntur sebagaimana pandangan Warren Bennis [5].
Pola pendidikan yang menganut tritunggal terpusat yaitu pengajaran, pelatihan dan pengasuhan (Jarlatsuh), sebagai amanat dari pasal 376 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemeritahan Daerah, memang sangat penting. Akan tetapi dari ketiga aspek tersebut, seharusnya tidak ada yang menonjol melainkan ketiga pola tersebut adalah setara. Praja wajib diberikan pengetahuan, keterampilan dan juga sikap dan mental yang kuat. Realitasnya saat ini, pola tritunggal terpusat didominasi oleh kegiatan pengasuhan, dengan alasan kalian tidak perlu pintar dan terampil karena yang dibutuhkan di lapangan adalah sikap dan kerespekan. Sungguh itu merupakan suatu alasan yang keji, sesat dan menyesatkan, tidak realitis dan terpuji. Atas alasan itulah maka banyak sekali mereka yang terperangkap sehingga tidak bisa bersaing dengan sistem rekrutmen secara terbuka. Perlu juga saya tekankan bahwa, orang yang pintar tanpa memiliki etika yang baik tidak akan bertumbuh subur dalam sistem birokrasi yang semakin dinamis. Oleh karena itu, sistem tri tunggal terpusat harus dijalankan secara seimbang agar dapat menciptakan kader-kader pamong praja yang selain memiliki etika yang baik juga mampu bersaing dari segi intelektualitas. Itulah sebabnya dengan intelektual yang cukup, mereka mampu mengisahkan tugas dan tanggungjawabnya yang mulia ini dalam suatu tulisan yang penuh makna.
Membaca suatu catatan yang dibuat dalam sebuah buku dan ditulis oleh seorang purna praja dari Serui, membuat hati kecil ini ingin menangis. Membayangkan bagaimana seorang lurah yang mengabdi, tidur disamping kandang sapi dan beralaskan koran, tidak memiliki listrik dan rawan akan konflik sosial. Kisah ini memang mengingatkan saya akan kisah-kisah yang pernah dialami oleh orang-orang yang saat ini telah menjadi orang penting di negeri tercinta. Ryaas Rasyid misalnya, selepas lulus dari APDN beliau ditugaskan untuk menjadi seorang lurah dan mengisahkan bagaimana ia harus meleraikan konflik sertamengangkat mayat yang masih basah akibat tawuran antar kampung. Selain itu dalam buku “Untung Sabut Muhammad Sani” seorang purna KDC yang melanjutkan pendidikannya di APDN Pekanbaru, memulai karirnya dengan berdiri di depan pintu sambil melihat tamu keluar masuk dan membuat amplop dari kertas yang tidak terpakai.
Atas dasar itu maka peneliti berkesimpulan bahwa orang besar mengawali perjalanan hidupnya dengan suatu tantangan yang berat dan menegangkan sehingga sedikit sulit untuk dilalui. Atas dasar itulah maka Prof. Suradinata selalu menyombongkan kepada kita bahwa beliau bisa jadi seperti ini karena pernah merasakan bagaimana hidup untuk melayani masyarakat di pedalaman Papua. Pengalaman itulah menjadi alasan yang kuat untuk mempertimbangkan pola penempatan lulusan IPDN secara acak di seluruh wilayah NKRI terlebih di daerah pedalaman, pulau terluar dan perbatasan.
Dalam menjalankan itu semua maka tidak cukup hanya memainkan seni pemerintahannya saja, melainkan sedikit memerlukan ilmu pengetahuan untuk mensiasati serta memikirkan bagaimana mempertahankan hidup sesuai dengan situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan sekalipun. Oleh karena itu dianggap perlu mereformasi sistem pengasuhan sentralistik yang cenderung menguatkan seninya saja. Pemerintahan itu adalah seni dan ilmu (Van Poltje, 1942), itulah sebabnya mengapa Ryaas Rasyid pandai memainkan perannya, disatu sisi ia merupakan akademisi tetapi dilain sisi beliau juga merupakan birokrat yang handal. 
Tarik menarik sistem pendidikan yang mengedepankan antara ilmu dan seni dalam pemerintahan, masih belum menemukan sebuah solusi. Dalam pandangan saya seharusnya, saya setuju dengan pendapat Labolo (2016:6) yang mengatakan bahwa “kampus daerah silahkan diserahkan kepada Pemerintah Daerah serta dikelola dan dikembangkan oleh Pemda masing-masing”. Dari situlah maka muncul suatu pola pendidikan kepamongprajaan yang asimetris di Indonesia. Pemerintah Papua misalnya cukup membutuhkan mental yang kuat saja dalam menghadapi masyarakat yang selalu demo dan anarkis, tetapi berbeda dengan pendikan oleh Pemda DKI Jakarta yang lebih menekankan pada kerangka konseptual untuk memperoleh suatu inovasi-inovasi Pemerintahan. Menyamaratakan pola pendidikan pengasuhan hanya akan menimbulkan kegaduhan yang berkepanjangan, saling klaim bahwa pola ini sangat penting tidak akan pernah mencapai titik temu. Kecuali dengan menerapkan sistem asimetris, sebab akan menjadi suatu bom waktu ketika kita hanya mempersiapkan sikap dan mental saja kemudian kita ditempatkan di Provinsi DKI Jakarta yang penuh dengan persaingan akademik, begitu juga sebaliknya.
Dengan cara inilah saya meyakini bahwa, praja Cilandak tidak akan disebutkan lagi perek dan monyet akibat memiliki daya kritis yang mengancam sistem yang sudah lama terbangun. Biarlah mereka dengan kebanggan sikap dan mental yang kuat akan mengarungi lautan dunia birokrasi yang kejam. Kita lihat siapa yang akan tergilas.

[1] Makalah ini disajikan dalam diskusi platos berkenaan dengan bedah buku berjudul “Bhakti Karya   
      Pamong Praja Serui”. Sabtu, 8 April 2017
[2] Praja IPDN tingkat IV di Kampus Cilandak, Jakarta
[3] Merupakan salah satu dari kedua belas nilai Kepamongprajaan. Menurut Ndraha (2008:2-5).  
      Magnanimous Througth artinya pemikiran murah hati, sehingga mengamong diartikan sebagai  
      suatu rekonstruksi pemikiran yang besar, pemikiran yang memiliki kekuata menerobos zaman  
      yang terbentuk berdasarkan kemerdekaan berpikir dan mengeluarkan buah pikiran yang dapat  
      diwariskan menjadi pelajaran bagi ribuan generasi ditahun yang akan datang.
[4]  Lihat Labolo, 2016:2. Makna Pangreh menunjuk pada kekuatan penguasa atau memiliki derajat  
      kekuasaan tertentu. Sehingga orientasi mereka identitas atas kekuassan itu harus dilayani oleh  
      masyarakat.
[5] Dalam tulisannya pada majalah Personel Administrastion (1967) bahwa 25-50 tahun kedepan 
      (dihitung semenjak tulisan itu) kita bersama-sama akan menyaksikan jatuhnya birokrasi Weber 
      dan diganti dengan sistem sosial yang baru sesuai dengan harapan masyarakat pada abad ke-20.

Sumber Bacaan : 
Bennis Warren. 1967. Organizational of the Future. Dallas Natemayer, Walter E., (edt) Personnel  
                         Administration,  International Personnel Management, Washington DC. 

Giroth Lexie & Giroth Jacson. 1998. Kepamongprajaan. Rineka Cipta : Jakarta. 

Labolo Muhadam. 2014. Memahami Ilmu Pemerintahan. Raja Grafindo Persada : Jakarta. N

Draha Taliziduhu. 2007. Kybernology Sebuah Charta Pembaharuan. Sirao Credentia Center :  
                         Tangerang. 

 _______________. 2008. Kybernologi Sebuah Metamorphosis. Sirao Credentia Center : Tangerang. 

Surianingrat Bayu. 1992. Mengenal Ilmu Pemerintahan. Rineka Cipta : Jakarta.