Rabu, 19 Oktober 2016

Kepemimpinan Ahok dalam Perspektif Kybernologi

APA SALAH DAN DOSA KU ? 
(SEBUAH KRITIK TERHADAP DIRI SENDIRI)
“IPDN harus memproduksi magnanimous thought setajam mungkin.
Ingat !
Lebih baik jadi kepala ayam jantan (kecil tapi pekokok)
ketimbang menjadi ekor sapi (besar, tetapi hanya pengusir lalat)”
-Prof Dr. Taliziduhu Ndraha-
Ditengah kesibukan untuk menyusun syarat menjadi seorang sarjana, saya diberikan tugas khusus untuk menyusun suatu artikel ilmiah. Tugas khusus ini merupakan suatu kehormatan karena diberikan bukan atas pelanggaran karena kelebihan berat badan ataupun TK karena memakai trening di kelas, melainkan karena memang sudah giliran saya setelah membawakan makalah yang terakhir dengan judul “Quo Vadis Praja IPDN Kampus Cilandak”. Selain alasan kapasitas saya yang dituntut untuk menjadi lebih ketika mengikuti plato’s institute. Kesempatan yang besar bagi saya, ketika pengurus plato’s institute angkatan XXIV mendelegasikan agar makalah yang akan didiskusikan minggu depan, dalam kegiatan yang dianggap elit tersebut adalah makalah saya. Diskusi yang membahas isu-isu permasalahan negeri ini menjadi bahan perbincangan yang seringkali berujung pada suatu perdebatan diantara peserta diskusi. Makalah ini saya angkat kembali dengan alasan adanya keterkaitan dengan mata kuliah kita yaitu “Kepengikutan Pemerintahan” yang menyangut kepercayaan masyarakat terhadap suatu pemerintahan.
Perhelatan kali ini saya mengantar kita pada suatu isu yang kontroversial tentang sosok pemimpin  Provinsi DKI Jakarta. Basuki Tjahya Purnama dengan nama panggilan Ahok merupakan Gubernur di ibu kota negara setelah menggantikan Joko Widodo yang terpilih sebagai Presiden tahun 2014 silam. Kedua tokoh yang sangat fenomenal ini, menjadikan masyarakat Indonesia terbagi atas kelompok yang pro dan juga kontra dalam setiap kebijakan serta program pemerintahan. Meminjam pandangan filsafat Cina yang mengatakan “bahwa ketika seekor katak yang berada dalam satu gelas kemudian, gelas tersebut diberikan air panas secara otomatis katak tersebut akan meloncat karena panasnya air itu”. Dari pandangan tersebut ada nilai-nilai fundamental yang ingin disampaikan kepada kita, termasuk contoh yang terjadi di DKI Jakarta. Ketika kedua sosok ini sering mengusik akan kenyamanan para elit birokrat yang kian mengakar dalam zona nyaman pemerintahan terdahulu, tidak terkecuali para politisi yang sering memainkan uang rakyat untuk kepentingan pribadi tapi berkedok penambahan infrastruktur dari segi pelayanan kesehatan hingga pendidikan. 
Terlepas dari persoalan politik, yang kian hari semakin memanas ketika PDI-P mendeklarasikan untuk mendukung petahana dalam pencalonan Gubernur tahun 2017 mendatang, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dinobatkan sebagai Gubernur terbaik se-Asia versi majalah Globe Asia. Disampaikan di dalam ulasan majalah tersebut bahwa belum ada yang seberani Ahok dalam menjalankan berbagai kebijakan yang dianggap tidak demokratis di pusat ibukota negara, apalagi Ahok merupakan golongan minoritas. Saya yakin bukan karena tingkat pendidikan masyarakat Indonesia yang masih rendah sehingga begitu mudah diadudomba dengan isu-isu agama, suku, ras, antar golongan, melainkan karena provokasi yang digerakkan oleh kaum-kaum pemikir, kaum intelek yang mengaggap bahwa Ahok adalah pemimpin yang tidak sopan dan kafir. Saya berpikir bahwa Jokowi juga yang merupakan sosok pemimpin yang sederhana, sopan dan agamais toh masih dibenci oleh segelintir orang. Ahok dinilai berhasil dalam meyakinkan rakyat bahwa dengan sungguh-sungguh bekerja dengan sebaik mungkin untuk membenahi ibukota DKI Jakarta, dari pada hanya menggunakan isu SARA untuk topeng dalam membodohi masyarakat dan merampok uang rakyat.  
Lantas mengapa masyarakat begitu segan terhadap Ahok ? Ternyata berdasarkan berbagai penelusuran yang begitu detail ada banyak sekali keberhasilan-keberhasilan Ahok sejak menjabat sebagai Anggota DPRD Belitung dan Bupati Belitung Timur hingga saat ini. Meskipun keberhasilan Ahok itu tidak diakui, akan tetapi saya tetap akan menguraikan perubahan-perubahan yang dialami oleh Provinsi DKI Jakarta dimasa kepemimpinan Basuki Tjahya Purnama, yaitu :
1. Banjir
“Masalah Banjir di Jakarta adalah bukti kegagalan politik Pemerintah Jakarta akan penataan tata ruang”, kata seorang pakar dari Universitas Trisaksi, Yayat Supriatna. Banjir yang tiap tahun menyambangi Jakarta, itu bukan tanggung jawab Ahok semata. Hal ini diakui oleh Wakil Ketua DPRD Provinsi DKI Jakarta Lulung Lunggana berkata bahwa masalah tersebut “Itu bukan salah Pak Ahok, banjirkan masalahnya ada di hulu”. Dalam beberapa media sebelumnya memberitakan bahwa dari zaman Sunda Kelapa, Batavia dan bahkan sekarang menjadi Jakarta masalah banjir masih menjadi trending topic di kalangan masyarakat. Akan tetapi sadarkah saudara bahwa berdasarkan data dari Dinas Tata Air Provinsi DKI Jakarta tahun 2016, titik banjir di Ibu Kota Negara menurun drastis dari jumlah 486 titik genangan menjadi 30 titik genangan. 
Sungai-sungai sudah direvitalisasi sehingga nampaknya tidak seperti dulu lagi yang dangkal dan penuh dengan sampah. Ikan-ikan mulai bercanda, riang dan gembira karena nyaman dengan lingkungan baru sebagai bukti nyata kinerja Basuki Tjahya Purnama. Walaupun itu tidak diakui oleh Anis Baswedan, yang menyatakan bahwa “sungai Jakarta bersih berkat Foke”. Manusia bisa saja memutarbalikan fakta tetapi mesin “google” tidak bisa. Sebab jika kita mengetik di google “sungai bersih karena Foke” yang keluar adalah Did you mean (Mungkin maksud Anda adalah) “sungai bersih karena Ahok”. Coba kita bayangkan seorang ahli bisa menipu dirinya sendiri karena perbedaan kepentingan politik. Hal itu juga diamini oleh Roy Suryo (Pakar Telematika) yang menyatakan bahwa “Google sebut sungai bersih karena Ahok, bukan berarti itu fakta”. Artinya beliau tidak mengakui itu, sehingga benar adanya apa yang disampaikan Muhadam Labolo (2016:2) bahwa “rasionalitas dapat dikalahkan oleh orientasi terhadap kebahagiaan yang instan. Mereka tampak cerdas dalam balutan Profesor dan doktor tapi dapat kehilangan rasionalitas ketika diperhadapkan dengan politik yang kotor”.
Bukankah itu suatu keberhasilan ? Peribahasa lama menjadi jawaban atas semuanya itu “Nila setitik merusak susu sebelanga” tidak ada artinya prestasi-prestasi yang telah kira raih ketika Kemang Village mengalami kebanjiran 27 Agustus 2016 silam. Semua menyalahkan Pemprov DKI, Dinas Tata Air, apalagi Ahok, mengapa selalu pemerintah yang disalahkan ? pertanyaan ini membuat saya harus membuka kembali catatan-catatan Ryaas Rasyid, 1996 “Makna Pemerintahan; Tinjauan dari segi etika dan kepemimpinan”.
2. Kemacetan
Sistem ganjil genap pernah menyita perhatian seluruh masyarakat Indonesia ketika pertama kali diuji coba pada tanggal 26 Juli 2016, sistem tersebut merupakan salah satu strategi untuk mengatasi  kemacetan di daerah yang terkenal dengan slogan “bukan Jakarta kalau tidak macet”. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta tahun 2015 jumlah kendaraan bermotor sudah mencapai 16.072.869 unit, jika seluruh kendaraan ini disusun tidak akan mencukupi panjang jalan di DKI Jakarta yang hanya 6.956.842,26 meter. Artinya setiap satu unit kendaraan bermotor hanya mencapai 0,43 meter atau jika dibandingkan dengan luas jalan di DKI Jakarta 48.502.763,16 m maka satu unit kendaraan bermotor hanya mencapai 3,02 m. 
Upaya untuk membangun jalan terkendala dengan terbatasnya lahan yang ada, sehingga pertumbuhan panjang jalan sangat kecil dibandingkan dengan yang dibutuhkan. Oleh karena itu, pemerintah telah berupaya dengan berbagai kebijakan seperti penambahan moda transportasi umum transjakarta, pembangunan jalan layang non tol Casablanca-Tanah Abang, pelarangan sepeda motor, untuk melintasi wilayah tertentu, pembangunan mass rapid transit (MRT) serta Light Rapid Transit hingga kebijakan yang mendorong para pegawai negeri di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggunakan kendaraan umum. Aturan ini tertuang dalam instruksi Gubernur Nomor 150 tahun 2013 tentang penggunaan kendaraan umum bagi pejabat dan pegawai Pemprov DKI Jakarta.
3. Reformasi Birokrasi
“Pejabat di era Ahok dari pimpinan bisa terjun bebas menjadi staf”. kalimat tersebut pernah menjadi topik salah satu media massa dalam membahas masalah seleksi terbuka di DKI Jakarta. Seleksi terbuka dalam tataran jabatan eselon 1 hingga 4 sempat menuai kritik dan pujian yang berujung pada suatu perdebatan serta bermuara  pada sikap benci dan dendam. Pasalnya Pemprov DKI Jakarta dengan tegas mencopot pejabat-pejabat yang tidak memiliki inovasi kreativitas dalam memimpin suatu jabatan, tentunya bukan sembarang copot mencopot melainkan melalui suatu proses evaluasi yang menghasilkan suatu bukti bahwa pekerjaan yang dilakukan bersifat stagnan. Pada prinsipnya orang nomor satu di DKI Jakarta mencari pejabat yang ingin kerja, kerja untuk melayani masyarakat sesuai dengan profesionalisme yang dimilikinya.
Lelang jabatan merupakan salah satu amanat dari reformasi birokrasi. Sudah muak masyarakat berhadapan dengan pejabat yang korupsi, kolusi dan penuh nepotisme serta pengelolaan birokrasi yang berbelit dan sengaja dibuat rumit sehingga pelayaanan publik sering diabaikan. Itu semua telah direformasi oleh Pemprov DKI Jakarta; mulai dari pengelolaan keuangan telah berbasis e-budgeting, pelayanan publik secara gratis, cepat dan mudah melalui PTSP online yang dikelola oleh BanPTSP, seleksi terbuka untuk mengisi jabatan struktural serta penolakan APBD-P tahun 2014 yang mengarah pada indikasi tindak pidana korupsi. Bukankah itu semua merupakan suatu keberhasilan, ingat tidak semua masyarakat di Indonesia manikmati hal yang sama karena itu adalah perbedaan fundamental dari sosok seorang pemimpin. alasan apalagi masyarakat ingin menyalahkan Ahok ?.
Apakah terkait kasus reklamasi ? atau penggusuran dimana-mana ?. Media mengekspos bahwa masyarakat DKI Jakarta menolak karena masyarakat pribumi terus dirugikan. Yang menjadi pertanyaannya, yang mana yang dikatakan masyarakat pribumi di DKI Jakarta ?, bagi saya sebagian besar penduduk disini itu hanyalah pendatang, termasuk saya dan anda hanya untuk mengais rezeki  dan menimbah ilmu di Ibukota Negara. Toh buktinya setiap kali Lebaran kota Jakarta seperti kota mati, serasa milik pribadi karena tidak ada penduduknya; semua lagi mudik. Tapi mengapa kita menolak kebijakan pemerintahan DKI Jakarta dengan mengatasnamakan penduduk pribumi ?.  apakah sebagian penduduk Indonesia sudah tidak ada rasa malunya lagi ataukah ada kepentingan dibalik semua itu ?. Selanjutnya mengapa kasus reklamasi baru dimasa kepemimpinan Ahok dipermasalahkan ? bukankah izin prinsip itu sudah ada semenjak zaman Gubernur Sutiyoso dan pendahulunya ?. Dari situlah saya berkesimpulan bahwa bukan programnya/kebijakannya yang dipersoalkan melainkan Ahoknya yang dipermasalahkan. Seandainya reklamasi itu dilanjutkan oleh Anis Baswedan atapun Agus Yudhoyono misalnya, mungkin tidak akan menjadi kasus seperti sekarang ini. Karena kelompok penekan (presure group) yang mayoritas berada dipihak Anis dan Agus. Kita lihat saja nanti, karena reklamasi di Jakarta pasti akan dilanjutkan karena itu merupakan suatu kebutuhan bukan keinginan, mengingat tekanan eksternal MEA yang mendorong DKI Jakarta sebagai kawasan strategis Nasional, jika ini tidak dilakukan tergilas kita oleh perubahan.
Alasan keberhasilan diatas sudah cukup memberikan gambaran kepada kita bagaimana seorang Gubernur me-menejemen suatu pemerintahan dengan persoalan-persoalan yang kompleks.   Jakarta sekarang ini butuh pemimpin yang tegas, keras dan berhati besar karena mulai hadirnya surga sampai neraka itu ada di Jakarta, sehingga rakyat mau maju atau terkebelakang, pintar atau bodoh, kaya atau miskin tergantung pemerintahannya. Kualitas pemerintahan tergantung si pemimpin. Kalau pemimpin pemerintahan adalah seorang yang baik maka baiklah pemerintahan itu, demikian pula sebaliknya. Pemimpin adalah pembawa kemakmuran dan kebahagiaan. Sebaliknya ia juga dapat menjadi pembawa bencana.
SEBUAH KRITIK TERHADAP DIRI SENDIRI
Bukankah Jokowi, Ahok, Risma, Ridwan Kamil dan Nurdin Abdullah merupakan sosok ideal yang dibutuhkan dalam perspektif kybernologi ?. Justru orang-orang seperti itulah yang harus kita dukung bukan dimusuhi, mereka yang mampu menerobos zaman serta memiliki pemikiran dan kekuatan yang besar, inovasi, kreativitas serta mandiri. Seandainya Taliziduhu Ndraha bisa bangkit kembali dari lobang kuburnya pasti beliau yang akan berdiri dibarisan paling depan sebagai tameng untuk menjawab kritikan pedas serta menerobos argumentasi yang menghambat implementasi fungsi-fungsi pemerintahan, layaknya seorang aktor Mike Banning yang melindungi nyawa Presiden Amerika Serikat dari ancaman pembunuhan oleh teroris dalam film London Has Falen.
Sabagai orang yang memahami makna dan esensi pemerintahan, rasanya keberhasilan-keberhasilan yang telah dijelaskan tadi sudah menjawab kebutuhan masyarakat akan hadirnya suatu pemerintahan. Tinggal kita memberikan masukan-masukan sesuai etika pemerintahan dalam kerangka perubahan, bukan kita berkoar-koar memprovokasi masyarakat gulingkan ahok karena kebijakan yang kontorversial. Yang menjadi perenungan kita, kebijakan mana coba yang tidak menuai kritikan ? Edward III dan Willian N. Dunn dalam buku-bukunya tentang kebijakan publik menyatakan tidak ada suatu kebijakan yang diterima secara utuh dalam konteks negara demokrasi. 

Ketika kita memberikan masukan kepada pemerintah itu artinya kita peduli sebagai tingkat partisipasi masyarakat, tapi ketika kita memberikan masukan tanpa solusi maka tidak ada bedanya lulusan IPDN dengan mahasiswa luar yang terkenal dengan aksi demontrasi, terkesan anarkis dan liar. Disinilah kualitas kita diuji sehingga kita yang bernaung dalam sebuah sistem, sistem pemerintahan secara umum perlukah  kita dengan kecakapan yang dilatih selama 4 tahun di lembah manglayang melakukan aksi provokasi, demonstrasi dan bahkan kudeta sekalipun ? saya pikir mereka yang menanggap perlu, harus dilatih kembali seraya diingatkan 12 nilai kepamongprajaan (Taliziduhu Ndraha, 2008:1-7). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar