Rabu, 19 Oktober 2016

Quo Vadis IPDN Kampus Jakarta

QUO VADIS PRAJA INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI (IPDN) KAMPUS CILANDAK


“IPDN harus memproduksi magnanimous thought setajam mungkin.
Ingat !
Lebih baik jadi kepala ayam jantan (kecil tapi pekokok)
ketimbang menjadi ekor sapi (besar, tetapi hanya pengusir lalat)”
-Prof Dr. Taliziduhu Ndraha-

Pemindahan praja IPDN kampus Cilandak ke Jatinangor, merupakan suatu isu hangat yang masih menjadi perdebatan di kalangan pucuk pimpinan lembaga kedinasan tersebut. Pasalnya isu ini telah mencuat ke permukaan sehingga membuat para praja IPDN kampus Cilandak seakan menikmati bait pertama lagu “kisah kasih di sekolah” yaitu resah dan gelisah serta bertanya-tanya apakah benar, kita akan direlokasikan ke lembah manglayang tempat dimana kita diajar, dilatih dan dibina pertama kali menikmati pendidikan di IPDN ?. Tentunya dengan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh kampus Cilandak, menjadi pertimbangan dalam perumusan kebijakan (agenda setting) atas isu ini. Adapun alasan mendasar yang menjadi pertimbangan dalam formulasi kebijakan yaitu berkurangnya kuota penerimaan praja IPDN dua tahun terakhir, justru kita  memandang bahwa ini merupakan suatu awal yang baik dalam menjalankan pola pendidikan  yang efektif dan efisien. Mungkin saja segelintir orang memandang bahwa berkurangnya kuota perimaan calon praja akan menutup pos-pos anggaran sehingga saku kanan mereka menjadi kering, tidak seperti dulu lagi. Argumen seolah-olah praja yang berada kampus Cilandak itu tidak disiplin adalah sesat dan menyesatkan, tidak realistis, dan palsu. Buktinya dua tahun terakhir ini hampir tidak ada praja kampus Cilandak yang dijatuhi pelanggaran disiplin berat, berbeda halnya dengan kampus  disana yang kurang lebih 25 praja dari segala tingkatan diberhentikan, turun tingkat ataupun mendapat pengurangan nilai pengasuhan. Saya memandang bahwa praja kampus Cilandak mampu berpikir secara rasional, realistis dan komprehensif, tahu membedakan mana buruk dan baik, tindakan menyenangkan ataupun menyusahkan karena kami diibaratkan sebagai hasil perasan santan yang pertama (Dr. Margaretha Rumbekwan, 2016). Artinya apa, mereka yang beruntung mengenyam pendidikan di kampus ini ialah mereka yang memiliki nilai lebih ditinjau dari aspek emosional, etika, estetika dan akademika. Itulah sebabnya praja kampus Cilandak dengan idealisme keilmuan yang tinggi, seakan menunda relokasi ini dengan segundang alasan yang sebagai garansinya, mereka bertarung pada sejumlah argumentasi pro dan kontra. Akan tetapi, sebelum kita memahami lebih dalam, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu asal muasal adanya IPDN kampus Cilandak.
Dikeluarkannya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang mengatur bahwa suatu departemen tidak boleh memiliki dua atau lebih perguruan tinggi dalam menyelenggarakan keilmuan yang sama, mendorong Departemen Dalam Negeri (Depdagri) untuk mengintegrasikan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) ke dalam Institut Ilmu Pemerintahan (IIP). Usaha pengintegrasiaan STPDN kedalam IIP secara intensif dan terprogram sejak tahun 2003, akan tetapi secara de jure diakui pada tahun 2004 melalui Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2004 tentang Penggabungan STPDN ke dalam IIP. Konsekuensi terpenting dari hal itu adalah nomenklatur dari kedua lembaga tersebut kemudian digabung dengan nama baru yaitu Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Dengan adanya kewenangan delegir dalam pembentukan peratuan perundang-undangan maka Kepres tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri 43 Tahun 2005 tentang Statuta IPDN. Akan tetapi pengaturan melalui Permendagri tersebut tidak secara konsisten dilaksanakan karena adanya keragu-raguan dalam proses pengelolaan lembaga baru tersebut termasuk di dalamnya tumpang tindih proses administrasi. Semestinya jika para pengambil keputusan itu konsisten dengan keppres diatas, satu-satunya organisasi yang masih hidup secara normatif sebagai penyelenggara pendidikan kedinasan di lingkungan Depdagri hanyalah IIP dengan nama baru IPDN dengan pusat pengendaliannya berada di Jakarta (Muhadam Labolo, 2014:30). Implikasi terhadap hal itu seluruh aset yang dimiliki oleh IIP dan STPDN secara riil telah menjadi milik IPDN.
Seiring berjalannya waktu, IPDN yang masih berumur 3 tahun harus menerima tekanan dari seluruh lapisan masyarakat, pasca kematian seorang Madya Praja asal Sulawesi Utara yaitu Clif Muntu. Kematian yang kotroversial itu menjadikan pejabat negeri ini menjadi geram dengan tuntutan supaya IPDN dibubarkan. Akan tetapi Presiden Republik Indonesia pada saat itu Susilo Bambang Yudhoyono mengambil sikap yang bijak dengan cara membentuk tim yang diketuai oleh Prof. Ryaas Rasyid (Mantan Rektor IIP) untuk melalukan evaluasi. Serentetan dengan itu maka, Presiden Republik Indonesia pada tanggal 9 April 2007 mengeluarkan kebijakan untuk segera dilakukan pembenahan dalam membangun budaya organisasi yang baru di lingkungan IPDN, dengan ketetapan tidak ada penerimaan calon praja IPDN dalam kurun waktu satu tahun. Kebijakan Presiden inipun memperoleh dukungan dari anggota DPR-RI. Maka amanat Perpres Nomor 1 tahun 2009, Pendidikan tinggi kepamongprajaan selain diselenggarakan di kampus pusat Jatinangor, serta kampus di Cilandak Jakarta, juga diselenggarakan di beberapa kampus daerah yang menyelenggarakan program studi tertentu sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Oleh sebab itu, relokasi praja IPDN kampus Cilandak bagi saya melanggar aturan, melanggar aturan merupakan musuh bebuyutan dari slogan revolusi mental. Akankah kita tetap direlokasi ? perlu dipertanyakan kembali sejauh mana semangat revolusi mental ini.
Kembali kedalam konteks pembahasan kita, terlepas dari pola pendidikan yang menganut tritunggal terpusat yaitu pengajaran, pelatihan dan pengasuhan (Jarlatsuh), sebagai amanat dari pasal 376 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemeritahan Daerah. Apalah jadinya ketika IPDN sebagai lembaga pendidikan yang mencetak kader pamongpraja (Bayu Sarianingrat, 1992; Lexie Giroth & Jacson Giroth, 1998) hanya memiliki keahlian untuk membuat kopi, merapihkan meja pimpinan juga sebagai pengatur kabel dalam acara-acara besar kenegaraan maupun daerah. Memang kita dituntut untuk memiliki sikap loyalitas terhadap pimpinan, saya pikir itu merupakan hal yang fundamental dalam sistem birokrasi weberian. Akan tetapi sistem seperti itu sudah mulai luntur sebagaimana pandangan Warren Bennis yang dalam tulisannya pada majalah Personel Administrastion (1967) bahwa 25-50 tahun kedepan (dihitung semenjak tulisan itu) kita bersama-sama akan menyaksikan jatuhnya birokrasi Weber dan diganti dengan sistem sosial yang baru sesuai dengan harapan masyarakat pada abad ke-20. Benar adanya diera reformasi saat ini, masyarakat mendesak untuk melakukan reformasi birokrasi sehingga di era kepemimpinan Presiden SBY dibuatlah suatu kebijakan yang dinamakan Open Bidding. Kebijakan ini bertujuan untuk mencari aparatur sipil negara yang tidak hanya memiliki otot tetapi juga otak, otak yang memiliki kemampuan dalam tataran pengambilan kebijakan. Maka dari itu perlu disiapkan kader yang mampu berpikir secara komprehensif, dan jangan lupa persiapan ini tidak dilakukan dengan kegiatan pengasuhan.
Kegiatan pengasuhan di kampus Jatinangor menjadi alasan mutlak para praja ketika mereka tertidur di kelas ataupun terlambat masuk kelas. Itulah sebabnya, para dosen mengeluh termasuk mantan kepala Arsip Nasional (Moch. Asichin) akan tetapi tidak hanya beliau, dosen senior seperti Muhadam Labolo juga menemukan adanya praja yang membawa kipas angin kedalam ruang kuliah.  Apa artinya itu, secara logika praja tidak akan mungkin membawa kipas angin, jika ruang belajar mereka itu dingin dengan suasana belajar yang nyaman. Hal-hal semacam itulah justru yang harus menjadi perhatian pucuk pimpinan lembaga kedinasan ini, bukan semata-mata sirik terhadap pola pendidikan di kampus Cilandak yang penuh suasana keilmuan. Sehingga tidak heran petugas kebersihan saja disini mampu berpikir layaknya seorang magister, akan tetapi petugas kebersihan kami masih kalah dengan aa dan tete di Jatinangor, mereka mungkin mampu berpikir seperti layaknya seorang doktor karena tugas praja bisa dibuatkan oleh mereka dengan jumlah harga tertentu. Tiba akhirnya pimpinan tetap mengambil kebijakan bahwa praja kampus Cilandak harus di pindahkan ke Jatinangor, bagaimana implikasi terhadap praja itu sendiri, para dosen dan pegawai serta aset lembaga di Cilandak ?
Saya akan mengulasnya satu persatu,
  1. Implikasi terhadap praja
Penyesuaian terhadap suatu lingkungan yang baru menjadi alasan terpenting ketika kita menempati tempat yang baru dengan suasana yang baru pula. Penyesuaian terhadap lingkungan membutuhkan waktu yang lama dan pengaruh psikologi yang besar, bagaimana bisa mereka yang hidup dengan suasana keilmuan pemerintahan melalui studi perspektif di beberapa lembaga tinggi negara seperti MPR, DPR, DPD, MK dan Kepresidenan termasuk kementerian-kementerian akan terputus jika pengurusan izin diperhambat dengan alur birokrasi yang kian rumit. Justru saat ini, IPDN kembali terkenal bukan lagi dengan kasus pemukulan melainkan dengan lomba debat, karya tulis, esai dan diskusi-diskusi ilmiah dengan berbagai pejabat negeri ini seperti ketua MPR tentang menghidupkan kembali GBHN, sejalan dengan itu ketua mantan lembaga tertinggi negara tersebut memuji eksistensi IPDN. Tidak hanya dilevel nasional, level internasionalpun kami bisa mengunjukan gigi melalui kegiatan konfrensi internasional di Australia, Filipina, Thailand, Arab Saudi, Singapura, Belanda, Malaysia dan negara lainnya. Siapa yang mengharumkan nama IPDN ? lagi-lagi praja IPDN kampus Cilandak. Kalau toh mereka bangga dengan prestasi yang diraih di Ceko, itu tidak ada implikasinya sama sekali terhadap akreditasi sebuah institusi. Walaupun kita memiliki segudang piala kejuaraan angkat barbel, bela diri, lari marathon, baris berbaris, menembak dan terjun payung sekalipun tetap tidak akan merubah akreditasi C menjadi A oleh BAN-PT. Maka dari itu, saya perlu sampaikan disini bahwa kami praja Cilandak memiliki peluang yang sangat besar untuk mengikuti seminar internasional karena terbukti tulisan-tulisan ilmiah kami diterima dan diminta untuk dipresentasikan. Akan tetapi lagi-lagi masalah keuangan menjadi hambatan akan peluang ini, lembaga tidak memiliki dana untuk mengakomodasi keberangkatan praja. Mirisnya lagi Kalau seandainya ada praja yang bersedia membiayainya secara pribadi dengan bantuan para dosen, bukan barang langkah ketika anda akan dipersulit pada penerbitan surat izin. Saya justru heran dengan lembaga ini tiba saatnya kegiatan non keilmuan di luar negeri, 2 orang yang jadi peserta 3 orang jadi pendamping. Saya hanya bisa mengusap dada sambil bicara sama bunga-bunga yang dipelihara didepan kamar, kian hari makin mekar karena selalu diperhatikan.
Perhatian yang diberikan oleh pembantu rektor II waktu itu (Dr. Hyronimus Rowa) menjadi semangat kami madya praja, untuk bergegas dari ibukota Desa Cibeusi ke ibukota Negara di Jakarta, dengan harapan kami bisa merasakan suasana kampus yang menurut pandangan beberapa orang adalah “elit”. Benar adanya, kami tidak dikecewakan oleh seseorang yang kini menjabat sebagai pembatu rektor III, disini kami bisa bertemu minimal seorang dirjen suatu kementerian sehingga informasi-informasi aktual, senantiasa memperkaya wawasan dalam mengembangkan pola pikir kami sebagai suatu tuntutan untuk menjawab permintaan reformasi birokrasi. Oleh sebab itu, berikanlah kesempatan madya praja yang masuk dalam program S-1 untuk menempati kampus Cilandak, jangan buat harapan mereka pupus ditengah jalan karena isu-isu yang belum menjadi agenda Rektor IPDN. Kasihan mereka, mungkin sudah tidak bisa belajar dengan penuh konsentrasi karena harus mengikuti pengkaderan drum band, polisi praja, komando, dan unit/instansi lainnya. Isu ini tidak hanya membuat praja pusing, tetapi juga dilema bagi para dosen dan pegawai di lembaga gabungan antara IIP dan STPDN tersebut.

2. Implikasi terhadap dosen dan pegawai

Tidak bisa kita pungkiri bahwasannya tenaga pengajar di institut ini merupakan loncatan dari jabatan struktural ke fungsional, mereka yang telah pensiun dengan aneka ragam eselon dan pangkat yang telah mentok di IVE mengabdikan dirinya ke lembaga ini, lepas dari alasan perpanjangan usia pensiun. Mereka yang merupakan pejabat tinggi yang telah pensiun kemudian menjadi dosen, sebagian besar berdomisili di Jakarta. Jarak yang dekat membuat mereka tidak perlu membuang waktu dan tenaga yang banyak untuk mengajar, tetapi sebaliknya tempat mengajar yang jauh akan membutuhkan tenaga dan pikiran yang relatif kompleks. Akibatnya tenaga yang telah terkuras tidak akan efektif, jika harus mengajar 3 kelas secara gabungan dengan 120an jumlah praja, belum lagi jika praja itu ribut dan hanya tidur-tiduran. Rasanya bagaikan seorang aktor Mike Banning yang akan membunuh para teroris karena mengancam nyawa Presiden Amerika dalam film London Has Falen. Belum lagi biaya transportasi dari Jakarta ke ujung tol Cileunyi, coba kita bayangkan sekali perjalanan menghabiskan biaya bensin minimal 200 ribu. Tidaklah setimpal tenaga yang telah terkuras ditambah dengan biaya transporasi 200 ribu diganti dengan honor dari lembaga 35 ribu setiap pertemuan (kalau guru besar 45 ribu).

3. Implikasi terhadap Aset

Terpeliharanya bangunan semenjak IIP berdiri, terbangunnya beberapa gedung dengan penambahan beberapa fasilitas yang baru dan terawatnya taman serta tanaman karena ada praja didalamnya. Mana bisa mahasiswa S2 dan S3 akan disuruh menyapu halaman dari PKD sampai wisma 14, sebelum mengikuti kegiatan perkuliahan oleh seorang Profesor, mana mungkin mahasiswa profesi kepamongprajaan yang sebagian besar sudah berusia lanjut harus diperintahkan untuk menanam dan atau menyiram tanaman. Ketika kita mampu berpikir secara sehat, maka kita dapat menyimpulkan bahwa ketika tidak ada praja maka tidak akan ada anggaran yang akan mengalir ke kampus Cilandak. Lantas bangunan-bangunan bersejarah ini akan dipelihara melalui dana apa ? Ketika kita mendengar isu bahwa wisma-wisma ini akan diprivatisasi/disewakan kepada mahasiswa S2 dan S3, sungguh membuka peluang yang besar terhadap praktik-praktik korupsi. Pasalnya biaya sewa aula yang sering digunakan untuk kegiatan kondangan, masuk dalam penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tidak jelas arah pertanggungjawabannya. 
Pemindahan aset-aset kantor membutuhkan lagi biaya yang besar dan mau tidak mau, suka ataupun tidak suka jika pimpinan mengambil kebijakan itu maka harus mau dan harus suka. Tidak lain adalah mengeluarkan biaya yang relatif besar untuk sewa tukang dan mobil angkut. Oleh sebab itu sekiranya kebijakan untuk relokasi praja IPDN kampus Cilandak ke Jatinangor, perlu dipertimbangkan kembali. Serta jangan lupa, lepas semua napsu tidak suka dalam menyusun formulasi kebijakan karena itu akan berpengaruh terhadap implementasi sebuah kebijakan (Willian N. Dunn, 1998).
Sumber Bacaan :
Bennis Warren. 1967. Organizational of the Future. Dallas Natemayer, Walter E., (edt) Personnel  
                             Administration,  International Personnel Management, Washington DC.
Giroth Lexie & Giroth Jacson. 1998. Kepamongprajaan. Rineka Cipta : Jakarta.
Labolo Muhadam. 2014. Memahami Ilmu Pemerintahan. Raja Grafindo Persada : Jakarta.
Ndraha Taliziduhu. 2007. Kybernology Sebuah Charta Pembaharuan. Sirao Credentia Center : Tangerang. 
_______________. 2008. Kybernologi Sebuah Metamorphosis. Sirao Credentia Center : Tangerang.
Surianingrat Bayu. 1992. Mengenal Ilmu Pemerintahan. Rineka Cipta : Jakarta.
Thoha Miftah. 2002. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Raja Grafindo Persada : Jakarta.
William N. Dunn. 1998. Analisis Kebijakan Publik. Terjemahan

Landasan Hukum :
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemeritahan Daerah
Perpres Nomor 1 tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Keppres No. 87 Tahun 2004 tentang Penggabungan STPDN ke dalam IIP.
Keppres No. 42 Tahun 1992 tentang Pendirian Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri,
Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2004 tentang Penggabungan STPDN ke dalam IIP.
Peraturan Menteri Dalam Negeri 43 Tahun 2005 tentang Statuta IPDN
SE Menpan Nomor : B/1268/M.PAN-RB/03/2016

Laman Berita :
http://wp.me/p3l9wx-Oa. “FH ULM Membuat Peserta Debat Mahkamah Konstitusi Jadi Nostalgia dan Terkejut” 28 April 2016





















1 komentar:

  1. The King Casino: The New King & The World of Gaming
    The King Casino is the new place where the real money https://jancasino.com/review/merit-casino/ gambling is legal in Florida and Pennsylvania. We love the new 바카라사이트 casino. gri-go.com We've got poormansguidetocasinogambling some https://vannienailor4166blog.blogspot.com/ great

    BalasHapus