Senin, 08 Mei 2017

Tampung Tantra

MENGGALI KEMBALI MAKNA PEMERINTAHAN TAMPUNG TANTRA

Oleh,

Jenuard Mosses Teguh Nelwan

Terbatasnya literasi yang membahas tentang pemerintahan tampung tantra, membuat istilah ini tidak terlalu poluler di kalangan masyarakat. Hanya segelintir orang saja yang dapat memahami substansi ini termasuk di dalamnya kalangan akademisi, itupun hanya sedikit dari ratusan pakar yang berlatarbelakang ilmu pemerintahan (bestuurnswetenschap) [1]. Kelangkaan inilah membuat ketidakmampuan para mahasiswa profesi kepamongprajaan bahkan praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri sekalipun yang berada dalam naungan institusi pemerintahan dalam negeri, sulit untuk menerjemahkan sekaligus mendeskripsikan makna hakiki dari pemerintahan tampung tantra. Akan tetapi, dalam tulisan ini penulis hendak mengemukakan beberapa pandangan terkait dengan pemerintahan tampung tantra.

Pemerintahan tampung tantra terdiri dari tiga kata yaitu : pemerintahan, tampung dan tantra. Dalam hal kata pemerintahan, berasal dari suku kata “perintah”. Menurut Bayu Surianingrat (1992:9), kata perintah berarti :
  1. Adanya “keharusan”, menunjukan kewajiban untuk melaksanakan apa yang diperintahkan;
  2. Adanya dua pihak yaitu yang memberi dan yang menerima perintah;
  3. Adanya hubungan fungsional antara yang memberi dan yang menerima perintah;
  4. Adanya wewenang atau kekuasaan untuk memberi perintah.
Sejalan dengan itu juga, Taliziduhu Ndaraha (2005:140-141) mendefinisikan kata Kepemerintahan, terdiri atas kata :

PEMERINTAH :
Bhs. Inggris   : Government berasal dari kata to govern artinya memerintah.
Bhs. latin       : Gubernare artinya gerik kybernan, steer, kemudi kapal)
Bhs. Belanda : Bestuur diartikan sebagai mencangkup seluruh kekuasaan  

Oleh karena itu Pemerintah adalah sistem yang menjalankan wewenang dan kekuasaan atau sistem yang menjalankan perintah dari yang memerintah, sedangkan pemerintahan adalah proses, cara perbuatan memerintah. Sehingga kepemerintahan adalah segala sesuatu yang menyangkut keadaan pemerintah. 
       Selanjutnya adalah kata tampung tantra. Secara etimologi, tampung bermakna menerima, mengumpulkan, menadah, mengurus. Sedangkan tantra berasal dari bahasa sansekerta yang berarti prinsip, sistem, doktrin. Berdasarkan penjelasan diatas maka secara sederhana kita memahami, pemerintahan tampung tantra adalah sistem yang menampung suatu urusan yang tidak dikerjakan oleh pemerintah. Artinya terjadi kekosongan pemerintahan, sehingga pemerintahan tampung tantra sama halnya dengan asas Vrij Bestuur [2]. Vrij Bestuur berasal dari bahasa Belanda Vrij artinya kosong, sedangkan Bestuur bermakna kekuasaan pemerintahan. Oleh karena itu secara umum dapat disimpulkan bahwa Pemerintahan tampung tantra/Vrij Bestuur adalah kewenangan/urusan yang tidak termasuk dalam asas desentralisasi, sentralisasi dan tugas pembantuan (medebewind). Lantas yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apa yang menjadi urusan pemerintah ketika pekerjaan itu ada tetapi aparat pelaksananya itu tidak ada ?. Contoh sederhananya seperti ini, di suatu tempat misalnya Kecamatan Airmadidi terjadi ketidakhadiran petugas-petugas dari dinas kebersihan Kabupaten Minahasa Utara, sehingga terjadi penumpukan-penumpukan sampah dibeberapa tempat, lingkungan masyarakat yang kotor, dan terjadi pencemaran limbah pada air  sungai, hal tersebut terjadi karena aparat pelaksana dari Dinas Kebersihan itu tidak ada/kosong. Oleh karena itu, apakah sampah-sampah tersebut hanya dibiarkan begitu saja, otomatis walaupun itu bukan merupakan tanggungjawab dari petugas/aparat kecamatan tetapi pekerjaan tersebut dibebankan kepada pemerintah kecamatan.
Dalam konteks pemerintahan daerah, landasan regulasi yang dapat dijadikan sebagai acuan adalah UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan perundang-undangan tersebut, mengatur cakupan tugas dan fungsi dari pemerintah. Pandangan Soewargono dalam Aziz Haily (2009:3) [3] yang semula fungsi pemerintahan itu hanya terbatas, yaitu menciptakan keamanan dan ketertiban (staat en orde) untuk melindungi rakyat, berkembang agar juga berfungsi mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Pandangan tersebut juga dispesifikan oleh mantan rektor Institut Ilmu Pemerintahan yaitu Ryaas Rasyid (2002:19) yang menyimpulkan tugas pokok pemerintah negara modern atau empat fungsi utama yang hakiki yaitu pengaturan, pelayanan, pembangunana dan pemberdayaan.
Atas dasar regulasi tersebut maka, penulis dapat menjelaskan bidang tugas dari tampung tantra, serta tantra, dan swatantra. Serta tantra atau sering disebut medebewind/tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desadari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu [4]. Konsep tersebut memuat dua unsur pokok, yaitu : tugas yang diberikan kepada pemerintah daerah dan kewajiban untuk mempertanggunjawabkan kepada siapa yang menugaskannya [5]. Dalam pandangan E. Koswara (2012:71) ada tiga hal penting yang perlu disimak dan memahami serta tantra, yaitu :
  1. Apakah yang dimaksud dengan “daerah”, apakah daerah provinsi yang berstatus sebagai daerah otonom terbatas tidak mungkin bisa menerima tugas pembantuan dari pemerintah atau memberikan tugas pembantuan kepada daerah kabupaten/kota dan desa;
  2. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai hak otonomi asli (indigenous autonomy) berdasarkan hak-hak  tradisionalnya yang diakui oleh negara sepanjang amsih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi tidak mungkin serta tantra diberikan kepada desa, serta tantra hanya diberikan kepada daerah-daerah otonom  yang mempunyai kewenangan otonomi penuh  seperti kabupaten/kota.
  3. Pemberian “serta tantra” yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dari pemberi serta tantra adalah tidak tepat dengan konsep “serta tantra”. Dalam konsep serta tantra yang diperlukan hanyalah pembiayaan, sedangkan sarana dan prasarana serta personil menggunakan alat-alat dan perangkat pemerintah daerah yang 
  4. diberi serta tantra. Sebab kalau semua pembiayaan, peralatan dan personil diberikan oleh yang menugaskan tugas pembantuan, itu lebih mirip dengan konsep dekonsentrasi.                                                                                                                                              
        Adapun swatantra bermakna etimologi sebagai asas melakukan sendiri. Swa artinya sendiri, sedangkan tantra sama halnya dengan yang dijelaskan diatas sehingga dapat dikatakan bahwa swatantra adalah daerah melakukan sendiri apa yang menjadi urusannya. Inilah yang menjadi dasar otonomi daerah karena swatantra dapat diartikan sebagai daerah otonom. Daerah otonom merupakan selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sementara kewenangan dari daerah otonom berasal dari asas desentralisasi. Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi. 
Oleh karena itu, cakupan dalam bidang tugas dari tampung tantra, serta tantra, dan swatantra termuat dalam No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah,  Bab IV UU mengenai urusan pemerintahan. Dari UU tersebut kita dapat memperoleh informasi bahwa, urusan pemerintahan terdiri dari tiga bagian penting, yaitu : Urusan absolut (urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat), urusan konkuren (urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota), serta urusan pemerintahan umum (urusan pemeritnahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan).
        Pemberlakuan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta merta telah menciptakan ketidakpastian dibeberapa bidang layanan publik yang kewenangannya ditarik dari kabupaten/kota. Tiba-tiba saja seluruh proses perizinan di sektor pertambangan, kehutanan dan kelautan yang selama ini dikelola pemerintah kabupaten/kota harus dihentikan. Selajutnya juga pembinaan terhadap sekolah-sekolah SMA dan SMK bersama para gurunya serta pengawasan atas tenaga kerja terlepas dari pemerintah kabupaten/kota.
Melihat kondisi saat ini, betapa sejumlah Propinsi kewalahan memikirkan bagaimana mengelola tambahan personil yang jumlahnya ribuan dari dinas-dinas yang dihapuskan di seluruh kabupaten/kota dalam propinsi itu. Bagaimana menyediakan ruang kantor untuk menampung mereka yang harus masuk ke dinas propinsi lengkap dengan pemindahan seluruh arsip dan dokumen-dokumen yang ada. Bagaimana menyediakan anggaran untuk tunjangan mereka yang selama ini ditanggung oleh APBD kabupaten/kota, bagaimana melanjutkan progran sekolah SMU dan SMK gratis yang selama ini menjadi beban APBD kabupaten/kota, bagaimana melayani permohonan ijin usaha, pembinaan, dan pengawasan atas seluruh operasi bidang pertambangan, kelautan, kehutanan di seluruh wilayah propinsi.
Di kabupaten/kota sendiri terjadi kebingungan tentang apa yang harus mereka lakukan dalam fase transisi. Sampai saat ini, menjelang 2 tahun berlakunya UU No.23 tahun 2014 belum lahir satu pun Peraturan Pemerintah yang dapat menjadi acuan pelaksanaannya. Terjadi kevakuman dan stagnansi yang panjang. Implementasi ke depan pun belum terjamin akan berlangsung mulus. Akan ada kelelahan dan komplain masyarakat yang selama ini cukup berurusan dengan pemerintah kabupaten/kota  di bidang-bidang layanan yang ditarik itu, karena harus melalui jalan panjang ke propinsi. Spirit otonomi yang diletakkan di kabupaten kota untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan, sudah dengan sendirinya hilang.
Bertolak dari deskripsi dan argumen yang disajikan secara singkat di atas, penulis sampai kepada kesimpulan sederhana bahwa UU No.23 tahun 2014 sepanjang menyangkut penarikan kewenangan dari kabupaten/kota adalah sebuah langkah yang keliru. UU ini tidak menyelesaikan masalah yang selama ini mungkin ada di daerah, tetapi justru menciptakan masalah baru. Oleh sebab itu, seharusnya Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan/uji materi (judicial review) yang dilakukan oleh asosiasi pemerintah kabupaten seluruh Indonesia (Apkasi) sebagaimana keterangan ahli Prof. Ryaas Rasyid,MA., Ph.D, pada tanggal 14 April 2016.



Catatan Kaki:
[1]  S. Pamudji. Dalam sebuah makalah yang berjudul “Pembahasan Atas Hubungan Ilmu Pemerintahan dengan Ilmu Administrasi Negara”. 
[2]  Asas ini memiliki perbedaan dengan Freies Ermessen. Secara sederhana kita memahami asas Vrij Bestuur itu seperti ini di mana pekerjaan itu ada tetapi aparat pelaksananya tidak ada. Sedangkan asas Freies Ermessen adalah pemerintah bebas mengurus dan menemukan inisiatif pekerjaan beru, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ataupun ketentuan-ketentuan lain yang berkenaan dengan norma suatu tempat.
[3]  Lihat, Haily Aziz. 2009. Pemantapan Proses Otonomi Daerah dam Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan. Sebuah orasi ilmiah, pengukuhan guru besar di Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Jakarta, 16 Juni 2009.
[4]  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, pasal 1 ayat (9)
[5]   Koswara E. 2012. Pemerintahan Daerah : Konfigurasi Politik Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dulu, Kini dan Tantangan Globalisasi. Jakarta : Yayasan Damandiri.


Daftar Pustaka

Buku
Koswara E. 2012. Pemerintahan Daerah : Konfigurasi Politik Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dulu, Kini dan Tantangan Globalisasi. Jakarta : Yayasan Damandiri.

Labolo Muhadam, dkk. 2015. Dialetika Ilmu Pemerintahan. Bogor : Ghalia Indonesia.

Ndraha Taliziduhu. 2005. Kybernologi Beberapa Konstruksi Utama. Tangerang : Sirao Credentia Center.

Rasyid Ryaas. 2002.  Menolak Resentralisasi Pemerintahan. Jakarta : Millenium Publisher.

Surianingrat Bayu. 1992. Mengenal Ilmu Pemerintahan. Jakarta : Rineka Cipta.


Orasi Ilmiah 

Haily Aziz. 2009. Pemantapan Proses Otonomi Daerah dam Evaluasi Penyelenggaraan PemerintahanSebuah orasi ilmiah, pengukuhan guru besar di Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Jakarta, 16 Juni 2009.


Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar