Senin, 08 Mei 2017

Menggugat Superioritas Sistem Pengasuhan IPDN

MENGGUGAT SUPERIORITAS SISTEM PENGASUHAN IPDN [1]

Oleh,  Jenuard Mosses Teguh Nelwan [2]

“IPDN harus memproduksi magnanimous thought [3] setajam mungkin. 
Ingat ! 
Lebih baik jadi kepala ayam jantan (kecil tapi pekokok) 
ketimbang menjadi ekor sapi (besar, tetapi hanya pengusir lalat)”
 -Prof Dr. Taliziduhu Ndraha-

Gundull !!! Lari….. Jongkok….. Tiarap….. merayap punggung….. guling…. Siaappp, Grraaaakkkkkk…. kata-kata yang tidak asing lagi dalam telinga para praja, sebab melalui kata tersebut konon katanya dapat membentuk sikap dan mental untuk menjadikan praja lebih tertib dan berdisiplin. Memang sebagian orang dengan sejumlah argumentasi pro, setuju dengan pola pendidikan seperti itu. Akan tetapi kita juga tidak bisa menyalahkan dengan mereka yang memiliki segudang alasan untuk mengubah pola pendidikan yang terlalu berorientasi pada sistem sentralisasi orde baru.
Kita semua memang memaklumi pola pendidikan yang keras dari institusi yang didirikan oleh Ir. Soekarno di Malang yaitu APDN, karena situasi pada saat itu dianggap perlu ada kader-kader yang didik secara khusus selain untuk menggerakkan sistem pemerintahan juga dapat mengamankan situasi negara. Bahkan jauh sebelum itu, Ambtenar OSVIA yang dibentuk oleh Belanda juga telah didirikan untuk memperkuat kekuasaan Belanda di Indonesia melalui kaum elite pribumi. Pasti kita semua dapat membayangkan, pola pendidikan seperti apa yang dibangun oleh Negara yang memprakarsai tanam paksa di Indonesia. Sehingga sistem yang kejam, trengginas dan cenderung mematikan itu harus dipaksakan, dan sistem tersebut diwarisi sampai sekarang. Makanya jangan heran para jebolan APDN, IIP dan STPDN sebagian besar orientasi berpikir mereka itu harus dilayani, layaknya seorang Pangrehpraja [4]

Zaman telah berubah tetapi tradisi tidak dapat dihilangkan, itu merupakan suatu doktrin yang tidak relevan. Era orde baru memang kita bisa menghadapi masyarakat dengan tendangan dan pukulan sampai-sampai ada yang membawa pentongan. Tetapi diera reformasi itu semua telah berubah, hak untuk berbicara dan memprakarsai itu semakin bebas. kita tidak dapat lagi menggunakan cara-cara kekerasan untuk menghadapi aksi damai jilid I, II, III dst, melainkan dengan cara-cara demokrasi. Masyarakat diajak berdiskusi, musyawarah untuk mencapai suatu kesepakatan agar keduanya saling menguntungkan, bahkan para ahli sampai mengajak kita untuk beradu gagasan sehingga menimbulkan perdebatan dalam mempertahankan suatu kebenaran.
Pertanyaanya bagaimana jika praja IPDN saat ini tidak dibekali dan dilatih cara-cara yang demokratis tersebut ? artinya berbicara dan mengungkapkan pendapat secara konseptual. Apalah jadinya ketika IPDN sebagai lembaga pendidikan yang mencetak kader pamongpraja (Bayu Sarianingrat, 1992; Lexie Giroth & Jacson Giroth, 1998) hanya memiliki keahlian untuk membuat kopi saja, kesigapan ketika disuruh untuk memfoto copy, merapihkan meja pimpinan juga sebagai pengatur kabel dalam acara-acara besar kenegaraan maupun daerah. Memang kita dituntut untuk memiliki sikap loyalitas terhadap pimpinan, saya pikir itu merupakan hal yang fundamental dalam sistem birokrasi weberian.  Akan tetapi sistem seperti itu sudah mulai luntur sebagaimana pandangan Warren Bennis [5].
Pola pendidikan yang menganut tritunggal terpusat yaitu pengajaran, pelatihan dan pengasuhan (Jarlatsuh), sebagai amanat dari pasal 376 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemeritahan Daerah, memang sangat penting. Akan tetapi dari ketiga aspek tersebut, seharusnya tidak ada yang menonjol melainkan ketiga pola tersebut adalah setara. Praja wajib diberikan pengetahuan, keterampilan dan juga sikap dan mental yang kuat. Realitasnya saat ini, pola tritunggal terpusat didominasi oleh kegiatan pengasuhan, dengan alasan kalian tidak perlu pintar dan terampil karena yang dibutuhkan di lapangan adalah sikap dan kerespekan. Sungguh itu merupakan suatu alasan yang keji, sesat dan menyesatkan, tidak realitis dan terpuji. Atas alasan itulah maka banyak sekali mereka yang terperangkap sehingga tidak bisa bersaing dengan sistem rekrutmen secara terbuka. Perlu juga saya tekankan bahwa, orang yang pintar tanpa memiliki etika yang baik tidak akan bertumbuh subur dalam sistem birokrasi yang semakin dinamis. Oleh karena itu, sistem tri tunggal terpusat harus dijalankan secara seimbang agar dapat menciptakan kader-kader pamong praja yang selain memiliki etika yang baik juga mampu bersaing dari segi intelektualitas. Itulah sebabnya dengan intelektual yang cukup, mereka mampu mengisahkan tugas dan tanggungjawabnya yang mulia ini dalam suatu tulisan yang penuh makna.
Membaca suatu catatan yang dibuat dalam sebuah buku dan ditulis oleh seorang purna praja dari Serui, membuat hati kecil ini ingin menangis. Membayangkan bagaimana seorang lurah yang mengabdi, tidur disamping kandang sapi dan beralaskan koran, tidak memiliki listrik dan rawan akan konflik sosial. Kisah ini memang mengingatkan saya akan kisah-kisah yang pernah dialami oleh orang-orang yang saat ini telah menjadi orang penting di negeri tercinta. Ryaas Rasyid misalnya, selepas lulus dari APDN beliau ditugaskan untuk menjadi seorang lurah dan mengisahkan bagaimana ia harus meleraikan konflik sertamengangkat mayat yang masih basah akibat tawuran antar kampung. Selain itu dalam buku “Untung Sabut Muhammad Sani” seorang purna KDC yang melanjutkan pendidikannya di APDN Pekanbaru, memulai karirnya dengan berdiri di depan pintu sambil melihat tamu keluar masuk dan membuat amplop dari kertas yang tidak terpakai.
Atas dasar itu maka peneliti berkesimpulan bahwa orang besar mengawali perjalanan hidupnya dengan suatu tantangan yang berat dan menegangkan sehingga sedikit sulit untuk dilalui. Atas dasar itulah maka Prof. Suradinata selalu menyombongkan kepada kita bahwa beliau bisa jadi seperti ini karena pernah merasakan bagaimana hidup untuk melayani masyarakat di pedalaman Papua. Pengalaman itulah menjadi alasan yang kuat untuk mempertimbangkan pola penempatan lulusan IPDN secara acak di seluruh wilayah NKRI terlebih di daerah pedalaman, pulau terluar dan perbatasan.
Dalam menjalankan itu semua maka tidak cukup hanya memainkan seni pemerintahannya saja, melainkan sedikit memerlukan ilmu pengetahuan untuk mensiasati serta memikirkan bagaimana mempertahankan hidup sesuai dengan situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan sekalipun. Oleh karena itu dianggap perlu mereformasi sistem pengasuhan sentralistik yang cenderung menguatkan seninya saja. Pemerintahan itu adalah seni dan ilmu (Van Poltje, 1942), itulah sebabnya mengapa Ryaas Rasyid pandai memainkan perannya, disatu sisi ia merupakan akademisi tetapi dilain sisi beliau juga merupakan birokrat yang handal. 
Tarik menarik sistem pendidikan yang mengedepankan antara ilmu dan seni dalam pemerintahan, masih belum menemukan sebuah solusi. Dalam pandangan saya seharusnya, saya setuju dengan pendapat Labolo (2016:6) yang mengatakan bahwa “kampus daerah silahkan diserahkan kepada Pemerintah Daerah serta dikelola dan dikembangkan oleh Pemda masing-masing”. Dari situlah maka muncul suatu pola pendidikan kepamongprajaan yang asimetris di Indonesia. Pemerintah Papua misalnya cukup membutuhkan mental yang kuat saja dalam menghadapi masyarakat yang selalu demo dan anarkis, tetapi berbeda dengan pendikan oleh Pemda DKI Jakarta yang lebih menekankan pada kerangka konseptual untuk memperoleh suatu inovasi-inovasi Pemerintahan. Menyamaratakan pola pendidikan pengasuhan hanya akan menimbulkan kegaduhan yang berkepanjangan, saling klaim bahwa pola ini sangat penting tidak akan pernah mencapai titik temu. Kecuali dengan menerapkan sistem asimetris, sebab akan menjadi suatu bom waktu ketika kita hanya mempersiapkan sikap dan mental saja kemudian kita ditempatkan di Provinsi DKI Jakarta yang penuh dengan persaingan akademik, begitu juga sebaliknya.
Dengan cara inilah saya meyakini bahwa, praja Cilandak tidak akan disebutkan lagi perek dan monyet akibat memiliki daya kritis yang mengancam sistem yang sudah lama terbangun. Biarlah mereka dengan kebanggan sikap dan mental yang kuat akan mengarungi lautan dunia birokrasi yang kejam. Kita lihat siapa yang akan tergilas.

[1] Makalah ini disajikan dalam diskusi platos berkenaan dengan bedah buku berjudul “Bhakti Karya   
      Pamong Praja Serui”. Sabtu, 8 April 2017
[2] Praja IPDN tingkat IV di Kampus Cilandak, Jakarta
[3] Merupakan salah satu dari kedua belas nilai Kepamongprajaan. Menurut Ndraha (2008:2-5).  
      Magnanimous Througth artinya pemikiran murah hati, sehingga mengamong diartikan sebagai  
      suatu rekonstruksi pemikiran yang besar, pemikiran yang memiliki kekuata menerobos zaman  
      yang terbentuk berdasarkan kemerdekaan berpikir dan mengeluarkan buah pikiran yang dapat  
      diwariskan menjadi pelajaran bagi ribuan generasi ditahun yang akan datang.
[4]  Lihat Labolo, 2016:2. Makna Pangreh menunjuk pada kekuatan penguasa atau memiliki derajat  
      kekuasaan tertentu. Sehingga orientasi mereka identitas atas kekuassan itu harus dilayani oleh  
      masyarakat.
[5] Dalam tulisannya pada majalah Personel Administrastion (1967) bahwa 25-50 tahun kedepan 
      (dihitung semenjak tulisan itu) kita bersama-sama akan menyaksikan jatuhnya birokrasi Weber 
      dan diganti dengan sistem sosial yang baru sesuai dengan harapan masyarakat pada abad ke-20.

Sumber Bacaan : 
Bennis Warren. 1967. Organizational of the Future. Dallas Natemayer, Walter E., (edt) Personnel  
                         Administration,  International Personnel Management, Washington DC. 

Giroth Lexie & Giroth Jacson. 1998. Kepamongprajaan. Rineka Cipta : Jakarta. 

Labolo Muhadam. 2014. Memahami Ilmu Pemerintahan. Raja Grafindo Persada : Jakarta. N

Draha Taliziduhu. 2007. Kybernology Sebuah Charta Pembaharuan. Sirao Credentia Center :  
                         Tangerang. 

 _______________. 2008. Kybernologi Sebuah Metamorphosis. Sirao Credentia Center : Tangerang. 

Surianingrat Bayu. 1992. Mengenal Ilmu Pemerintahan. Rineka Cipta : Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar