“Berjuang
untuk Kepentingan Umum”
Nama :
Mosses Teguh Nelwan
Kelas : XII IPS
Pers
adalah lembaga sosial (social institution) atau lembaga kemasyarakatan yang
merupakan subsistem dari sistem pemerintahan di negara dimana ia beropreasi,
bersama-sama dengan subsistem lainnya. Di Indonesia
mengakui hukum perlindungan wartawan sudah diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999
tentang Pers. Pasal 8 memang menyatakan Dalam melaksanakan profesinya
wartawan mendapat perlindungan hukum. Tetapi ketentuan ini tidak secara
eksplisit memberi jaminan perlindungan hukum terhadap wartawan dalam arti
kekebalan dari tuntutan pidana.
Menurut Saya, alasannya dapat
ditemukan dalam penjelasan pasal yang sama. Dinyatakan di sana “yang
dimaksud dengan perlindungan hukum adalah jaminan perlindungan Pemerintah
dan/atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban,
dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.”
Sementara
itu, pengaturan dalam Rancangan KUHP saja tidak cukup dan UU Pers yang ada saat
ini belum memadai sehingga saat ini Aliansi Jurnalistik Independen (AJI)
sedang berusaha untuk memperkuat UU Pers.
Melalui
media massa, saya memiliki catatan penting. Wartawan tidak berarti minta keistimewaan
untuk tidak dihukum dan mereka bisa dipidana bila melanggar norma hukum,
seperti pencurian, pembunuhan, pemerasan. Namun, semua hal yg terkait pekerjaan
jurnalistik seperti peliputan, wawancara, pemuatan berita atau gambar dalam
media cetak atau elektronik tidak lagi dikenai pasal-pasal dalam KUHP. Selama
ini profesi wartawan sebenarnya didiskriminasi. Seperti contoh seorang polisi
yang menembak orang lain tetapi orang tersebut ternyata tidak bersalah. Sang
polisi itu tidak bisa dihukum karena ia sudah bertindak sesuai dengan
undang-undang. Lalu mengapa Mereka wartawan salah menulis
atau salah data dan sebagainya, wartawan tersebut dipenjara, padahal mereka itu
memperjuangkan kepentingan umum supaya masyarakat luas mengerti apa yang
terjadi di suatu daerah.
Oleh
sebab itu, pemerintah harus memperhatikan dan meninjau kembali apa yang telah
menjadi wewenang pers, sebab jurnalistik itu dilindungi oleh Undang-undang.
Berikut merupakan contoh
kasus terhadap pers :
Sumber :
Koran Kompas Februari 2013
1.
Wartawan
Kembali Dianiaya di Aceh
Kemarin siang, sekitar pukul
11.00 waktu setempat, seorang wartawati stasiun televisi RCTI, Ivo Lestari
mengalami penganiayaan saat melakukan peliputan dugaan aktivitas illegal
logging di Desa Teumpeun, Kecamatan Peureulak Aceh Timur. Ivo Lestari disekap
dan dianiaya di sebuah panglong kayu saat mengambil gambar dan meliput kegiatan
yang diduga illegal logging berupa kayu-kayu yang diikat dan siap dikirimkan
melalui sungai. Ivo disekap selama lebih kurang setengah jam dan diancam untuk
dibunuh oleh dua orang pria berbadan tegap.
Forum Jurnalis
Aceh Anti kekerasan mendesak pihak Kepolisian Daerah Aceh untuk segera mengusut
kasus kekerasan yang menimpa Ivo Lestari hingga tuntas dan para pelakunya diajukan
ke pengadilan karena selain melakukan penganiayaan juga melakukan perampasan
kamera yang dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda
Rp.500 juta. Sesuai UU Pers, demikian disampaikan oleh Juru Bicara Forum
Jurnalis Aceh Didik Ardiansyah kepada Atjeh Group di Banda Aceh.
Persoalan
penganiayaan terhadap wartawan bukanlah hal pertama yang terjadi di Aceh.
Menurut catatan Atjeh Group, setidaknya terdapat lebih dari 50 kasus kekerasan
terhadap wartawan yang terjadi pada 1 tahun terakhir, hal itu termasuk
pencegahan peliputan kegiatan Pemerintah Aceh oleh sejumlah pengawal Gubernur
maupun Wakil Gubernur Aceh. Belum lagi pernyataan-pernyataan dari beberapa
pejabat dan juru bicara yang dapat dianggap merendahkan profesi wartawan seperti
yang sempat diungkap oleh Juru Bicara Partai Aceh Fachrul Rozi beberapa waktu
lalu yang meminta wartawan jangan cengeng dan menjadi tukang minta-minta.
Meskipun
demikian maraknya kasus kekerasan terhadap jurnalis di Aceh, belum satupun
kebijakan Pemerintahan Aceh yang menjamin perlindungan terhadap profesi
jurnalis sebagai pengumpul dan pewarta berita. Pemerintahan Aceh seolah tak
bergeming dengan situasi tersebut dan berdiri di menara gading dengan
menganggap wartawan bukan merupakan sahabat yang diperlukan sebagai pewarta
kebijakan publik maupun transparansi pemerintahan Aceh. Semoga kejadian
kekerasan ini adalah yang terakhir, dan Pemerintahan Aceh segera melakukan
langkah-langkah perlindungan terhadap profesi wartawan.
2.
Kawal Proses Hukum Penganiayaan
Wartawan oleh Aparat
Kecaman
terhadap tindakan oknum TNI anggota Detasemen Kavaleri Kodam 16 Pattimura,
Maluku, yang melakukan pemukulan terhadap wartawan dan menghambat tugas
jurnalistik terus meluas. Kali ini Aliansi Jurnalis Independen Solo
mengeluarkan siaran pers resmi yang menyuarakan pernyataan sikapnya. Dalam
siaran persnya, AJI Solo mendesak oknum TNI yang menganiaya Rahmat Rahman
Patty, kontributor Kompas.com, diproses secara hukum dengan mengacu
pada UU Pers Nomor 44 Tahun 1999.
Danang Nur Ihsan sebagai Ketua AJI
Solo menegaskan bahwa UU Pers harus menjadi acuan utama untuk mengusut kasus
yang menimpa Rahmat. Dalam siaran pers tersebut juga diungkapkan kasus-kasus
kekerasan oleh aparat TNI yang pernah terjadi di Karanganyar, Jawa Tengah, pada
tahun 2010. Saat itu, salah satu reporter surat kabar lokal, Solopos,
dianiaya oleh mantan Dandim Karanganyar, Lilik Sutikna. Kasus tersebut menjerat
mantan Dandim yang kemudian diproses hingga Pengadilan Tinggi Militer di
Yogyakarta, dan mendapat vonis empat bulan penjara.
AJI Solo
berharap kasus tersebut bisa menjadi acuan dalam penyelesaian kasus yang
menimpa Rahmat. Seperti diberitakan sebelumnya, Rahmat dihajar oleh Serka
Abdullah, anggota Detasemen Kaveleri Kodam XVI Pattimura, sementara kamera
milik korban dibanting anggota TNI lainnya. Penganiayaan terjadi ketika Rahmat
dan jurnalis lainnya sedang mengambil gambar pengejaran pemukulan seorang anak.
Anggota TNI tidak terima apabila peristiwa itu diabadikan jurnalis. Oknum TNI
pun meminta dengan paksa korban untuk menghapus foto peliputan, bahkan merusak
kamera.
3. Pengusutan Kasus
Penganiayaan Wartawan di Kompleks Corner Kabur
Komitmen
Kapolresta Manado, Kombes Pol Amran Ampulembang, untuk mengusut tuntas kasus penganiayaan
yang menimpa 3 wartawan di kompleks Corner Club kawasan Bahu Mall Manado,
media oktober lalu kembali dipertanyakan. Pengusutan kasus kekerasan yang
ditengarai menyeret oknum aparat polisi, semakin kabur. Terduga pelaku, HM
alias Hesly alias Sky telah dilepas.
Sejumlah oknum
polisi yang diduga ikut melakukan pengeroyokkan, belum tersentuh.
Padahal, Ampulembang sendiri, telah mengakui indikasi adanya keterlibatan
anggota dalam kasus kekerasan terhadap 3 pekerja pers itu. Malah Propam Polda
Sulut, dikabarkan telah memeriksa sejumlah anggota yang disinyalir terlibat.
Tapi pengusutan kasus yang menuai keprihatinan sekaligus kecaman dari berbagai
elemen warga Sulut itu, kian terkubur. Nada sumbang pun mulai dialamatkan
kepada korps berbaju cokelat itu. “Proses penyelidikan terhadap kasus
penganiayaan terhadap rekan rekan wartawan di halaman parkir Corner
sudah hampir sebulan. Namun belum ada perkembangan yang signifikan. Kami minta
Polresta Manado, untuk lebih mengseriusi penanganan kasus ini,” lugas Ketua Aji
Manado, Yoseph Ikanubun. “Kami minta Kapoltabes membuktikan komitmennya untuk
mengusut kasus ini hingga tuntas. Jangan lindungi anggota kalau memang terbukti
terlibat. Hukum harus ditegakkan,” tegas salah satu redaktur senior di Harian
Metro Manado itu seraya menegaskan AJI Manado akan terus mengawal proses
pengusutan kasus penganiyaan terhadap pekerja Pers tersebut.
Kapoltabes
Manado melalui, Kasat reskrim Kompol Nanang Nugraha, ketika dikonfirmasi
kemarin, membantah bila pihaknya tidak menyeriusi kasus penganiayaan terhadap 3
wartawan di halaman parkir Corner Café. Ia mengklaim, proses penyelidikan masih
dalam proses pendalaman. “Sedang kita dalami,” katanya. Soal dilepasnya HM
alias Sky, Nanang mengaku belum memiliki bukti kuat untuk melakukan penahanan.
“Dari hasil perkembangan penyidikan sementara yang bersangkutan (Sky,red)
belum terbukti melakukan pemukulan,” ujarnya lagi. Pun demikian Nanang,
berjanji akan mengusut kasus penganiayaan itu sampai tuntas tanpa pilih kasih.
“Bila dalam pengembangan penyelidikan sky terbukti lakukan penganiayaan,
tentu kami akan langsung melakukan penahanan. Begitupula jika ada anggota yang
terbukti terlibat. Saya tidak pandang bulu, walaupun dia anggota atau
siapapun yang terbukti terlibat pasti akan kita tangkap dan proses,” janjinya
lagi.
Kapolda Sulut,
Brigjen Pol Dicky Atotoy ketika dikonfirmasi , usai Paripurna penetapan APBD
2013 di kantor DPRD Sulut, menyatakan akan segera mengkoordinasikan
persoalan itu dengan Polresta Manado. Atotoy mengaku belum mengetahui, jika
terduga tersangka HM alias Sky telah dilepaskan oleh Polresta Manado. “Akan
segera saya koordinasikan dengan Polresta Manado,” singkatnya.
Diketahui dalam
aksi solidaritas yang dilakukan Pers Sulut di Mapolresta Manado,
Kapolresta Kombes Pol Amran Ampulembang sempat menyatakan telah ada anggota
yang diperiksa penyidik. Ia pun berjanji mengusut tuntas kasus penganiayaan
yang menimpa Risky Pogaga wartawan Media Sulut, Hendra Lumanauw wartawan
Koran Manado dan Bryan Sondakh, wartawan On line di kompleks Corner Café
25 Oktober 2012 lalu. Sama hanya dengan Polda Sulut. Kapolda melalui Kabid
Humas, AKBD Denny Adare pernah berjanji mengusut kasus kekerasan yang dialami
3 kuli tinta wartawan tersebut.
4.
Jurnalis Klaten Kecam
Penganiayaan Wartawan di Riau
Klaten –
Puluhan wartawan dari sejumlah media massa baik cetak, online dan
elektronik yang bertugas di wilayah Klaten, Rabu (17/10) pagi
berunjukrasa di Tugu Adipura, Klaten. Mereka mengecam tindak kekerasan yang
dilakukan oleh oknum TNI AU terhadap wartawan, di Riau.
Aksi solidaritas
jurnalis Klaten ini dimulai pukul 09.00 WIB dengan berjalan kaki dari depan
Kantor Humas Pemkab Klaten menuju Tugu
Adipura. Dalam aksinya itu, para pekerja media juga membawa sejumlah poster
yang bertuliskan kecaman kepada oknum TNI AU. Para wartawan juga menyajikan
aksi teatrikal.
Seperti
diberitakan di berbagai media, tindak penganiayaan oleh oknum TNI dialami oleh
beberapa wartawan yang tengah meliput jatuhnya pesawat Hawk 200 di Riau pada
Selasa (16/10) pagi. “Tindak penganiayaan itu tidak pantas dilakukan dan
seharusnya bisa dihindari,” ujar Koordinator Aksi, Khodik Duhri.
Menurut
Duhri, sesuai dengan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, bahwa setiap orang
yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat
menghambat atau menghalangi pelaksanaan kerja wartawan yang sedang mencari
berita ancaman pidananya 2 tahun dan denda Rp500 juta.
Dalam
aksinya itu, solidaritas Jurnalis Klaten menyampaikan beberapa pernyataan
sikap, di antaranya:
1.
Kami mengecam keras tindakan represif berupa penganiayaan, pemukulan dan
perampasan kamera video dan kamera foto yang dilakukan sejumlah anggota TNI AU
di lapangan terhadap sejumlah wartawan, baik media cetak, online, radio
dan televisi yang sedang bertugas mendapatkan informasi dan gambar di sekitar
lokasi kejadian.
2.
Tindak kekerasan tersebut jelas merupakan perbuatan melawan hukum yang bersifat
pidana, sehingga terhadap para tersangka pelakunya harus mendapatkan hukuman
setimpal. Hukuman dimaksud tak boleh hanya bersifat internal berupa sanksi
disiplin/administratif di kesatuan dan peradilan koneksitas, namun juga harus
diproses di peradilan umum secara terbuka.
3.
Upaya para aparat TNI AU yang menutup akses informasi dan menghalang-halangi
tugas wartawan untuk mendapatkan informasi demi kepentingan publik bisa pula
dikenai sanksi pidana karena bertentangan dengan kebebasan pers sebagaimana
diatur dalam UU No 40/1999 Pasal 4 Ayat 2. Pelaku penganiayaan bisa diancam
hukuman dua tahun penjara dan denda Rp 500 juta.
4.
Tragedi dan ancaman terhadap kebebasan pers ini makin menegaskan bahwa
penghormatan terhadap profesi jurnalis masih rendah dan budaya kekerasan oleh
aparat negara/militer terhadap kehidupan sipil masih menjadi masalah serius
yang mendesak diselesaikan dan dicarikan solusinya.
5.
Mendesak pada pimpinan TNI agar menggiatkan lagi pendidikan tentang demokrasi,
kebebasan pers, dan hak asasi manusia di lingkungan anggotanya, selain
mengukuhkan prosedur operasional tetap dalam menghadapi pers dan masyarakat sipil
guna mencegah terjadinya pelanggaran serupa.
Sumber
: VIVA News Februari 2013
5.
Kekerasan Yang Menimpa
Julia Merupakan Bentuk Intimidasi Secara Fisik Terhadap Jurnalis
Kasus kekerasan terhadap
wartawan terus mendapat kecaman dari berbagai organisasi wartawan. Aliansi
Jurnalis Independen (AJI) Makassar menyayangkan peristiwa penganiayaan yang
dialami Odeo Data Julia Vanduk, wartawan Sinar Harapan, saat menjalankan tugas
jurnalistiknya.
Ketua AJI
Makassar, Andi Fadli mengatakan, kekerasan yang menimpa Julia merupakan bentuk
intimidasi secara fisik terhadap jurnalis. Ironisnya, penganiayaan dilakukan
saat sejumlah jurnalis menunggu kedatangan calon wakil presiden Budiono yang
akan berkampanye di Papua. "Ini fatal, karena teman-teman jurnalis di
Papua termasuk Julia sedang melakukan tugas jurnalistiknya. Seharusnya ini
tidak terjadi," kata Fadli kepada wartawan, sore tadi. Untuk itu, AJI
Makassar mendesak kepolisian untuk menindak pelaku kekerasan tersebut dengan UU
Pers serta KUHP. Alasannya, oknum kader Partai Demokrat melakukan kekerasan
terhadap wartawan saat bertugas, sekaligus bisa dijerat dengan pidana karena
melakukan penganiayaan. AJI Makassar juga menyayangkan terulangnya kekerasan
terhadap wartawan di Indonesia. Menurut Fadli, kejadian itu merupakan pertanda
bahwa masyarakat tidak memahami kerja-kerja jurnalis.
Untuk
itu pada poin terakhir, AJI Makassar sekali lagi meminta kepada masyarakat
untuk menghargai jurnalis ketika meliput dan menghormati kebebasan pers. "Ini
adalah upaya mendorong terwujudnya kerja jurnalis agar bisa menyajikan
informasi yang baik, berimbang dan bebas dari intimidasi siapapun. Jurnalis
bertugas mencari berita, bukan membawa petaka," tuturnya lagi. Pernyataan
sikap tersebut langsung disampaikan ke Dewan Pers melalui Andullah Alamudi yang
turut hadir dalam jumpa pers tersebut. Alamudi, yang saat ini menjabat sebagai
ketua Komisi Pengaduan Masyarakat Dewan Pers, berjanji akan menyampaikan
pengaduan itu ke rapat internal Dewan Pers di Jakarta.
Menanggapi soal kekerasan yang menimpa Julia, Ia menegaskan, Dewan Pers ikut mengecam terjadinya kekerasan tersebut. Menurutnya, siapapun pelakunya, meski ia adalah dari tim pemenangan cawapres, harus ditindaki sampai tuntas.
Menanggapi soal kekerasan yang menimpa Julia, Ia menegaskan, Dewan Pers ikut mengecam terjadinya kekerasan tersebut. Menurutnya, siapapun pelakunya, meski ia adalah dari tim pemenangan cawapres, harus ditindaki sampai tuntas.
"Siapapun
yang melakukan kekerasan itu tidak bisa dibenarkan, dan harus diprotes karena
itu melanggar pasal 18 UU Pers yakni menghalang-halangi wartawan dalam
menjalankan tugas jurnalisnya," kata Alamudi dihadapan wartawan. Sementara,
berdasarkan catatan AJI Makassar, kasus Julia merupakan kasus kedua yang menimbulkan
gesekan tidak langsung antara wartawan dengan Boediono.
Kasus pertama saat reporter SCTV Carlos Pardede ingin mengkonfirmasi Boediono, sehari setelah ia terpilih menjadi calon wakil presiden SBY. Saat itu, wartawan SCTV tersebut dipukul hinga berdarah oleh satpam BI, kantor Boediono
Kasus pertama saat reporter SCTV Carlos Pardede ingin mengkonfirmasi Boediono, sehari setelah ia terpilih menjadi calon wakil presiden SBY. Saat itu, wartawan SCTV tersebut dipukul hinga berdarah oleh satpam BI, kantor Boediono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar