Senin, 04 Maret 2013

Pelanggaran Pers


“Berjuang untuk Kepentingan Umum”

Nama              : Mosses Teguh Nelwan
Kelas               : XII IPS

Pers adalah lembaga sosial (social institution) atau lembaga kemasyarakatan yang merupakan subsistem dari sistem pemerintahan di negara dimana ia beropreasi, bersama-sama dengan subsistem lainnya. Di Indonesia mengakui hukum perlindungan wartawan sudah diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 8 memang menyatakan Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Tetapi ketentuan ini tidak secara eksplisit memberi jaminan perlindungan hukum terhadap wartawan dalam arti kekebalan dari tuntutan pidana.
            Menurut Saya, alasannya dapat ditemukan dalam penjelasan pasal yang sama. Dinyatakan di sana “yang dimaksud dengan perlindungan hukum adalah jaminan perlindungan Pemerintah dan/atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Sementara itu, pengaturan dalam Rancangan KUHP saja tidak cukup dan UU Pers yang ada saat ini belum memadai sehingga saat ini Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) sedang berusaha untuk memperkuat UU Pers.

Melalui media massa, saya memiliki catatan penting. Wartawan tidak berarti minta keistimewaan untuk tidak dihukum dan mereka bisa dipidana bila melanggar norma hukum, seperti pencurian, pembunuhan, pemerasan. Namun, semua hal yg terkait pekerjaan jurnalistik seperti peliputan, wawancara, pemuatan berita atau gambar dalam media cetak atau elektronik tidak lagi dikenai pasal-pasal dalam KUHP. Selama ini profesi wartawan sebenarnya didiskriminasi. Seperti contoh seorang polisi yang menembak orang lain tetapi orang tersebut ternyata tidak bersalah. Sang polisi itu tidak bisa dihukum karena ia sudah bertindak sesuai dengan undang-undang. Lalu mengapa Mereka wartawan salah menulis atau salah data dan sebagainya, wartawan tersebut dipenjara, padahal mereka itu memperjuangkan kepentingan umum supaya masyarakat luas mengerti apa yang terjadi di suatu daerah.
Oleh sebab itu, pemerintah harus memperhatikan dan meninjau kembali apa yang telah menjadi wewenang pers, sebab jurnalistik itu dilindungi oleh Undang-undang.

Berikut merupakan contoh kasus terhadap pers :
                                              
Sumber : Koran Kompas Februari 2013
1.      Wartawan Kembali Dianiaya di Aceh

Kemarin siang, sekitar pukul 11.00 waktu setempat, seorang wartawati stasiun televisi RCTI, Ivo Lestari mengalami penganiayaan saat melakukan peliputan dugaan aktivitas illegal logging di Desa Teumpeun, Kecamatan Peureulak Aceh Timur. Ivo Lestari disekap dan dianiaya di sebuah panglong kayu saat mengambil gambar dan meliput kegiatan yang diduga illegal logging berupa kayu-kayu yang diikat dan siap dikirimkan melalui sungai. Ivo disekap selama lebih kurang setengah jam dan diancam untuk dibunuh oleh dua orang pria berbadan tegap.
Forum Jurnalis Aceh Anti kekerasan mendesak pihak Kepolisian Daerah Aceh untuk segera mengusut kasus kekerasan yang menimpa Ivo Lestari hingga tuntas dan para pelakunya diajukan ke pengadilan karena selain melakukan penganiayaan juga melakukan perampasan kamera yang dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda Rp.500 juta. Sesuai UU Pers, demikian disampaikan oleh Juru Bicara Forum Jurnalis Aceh Didik Ardiansyah kepada Atjeh Group di Banda Aceh.
Persoalan penganiayaan terhadap wartawan bukanlah hal pertama yang terjadi di Aceh. Menurut catatan Atjeh Group, setidaknya terdapat lebih dari 50 kasus kekerasan terhadap wartawan yang terjadi pada 1 tahun terakhir, hal itu termasuk pencegahan peliputan kegiatan Pemerintah Aceh oleh sejumlah pengawal Gubernur maupun Wakil Gubernur Aceh. Belum lagi pernyataan-pernyataan dari beberapa pejabat dan juru bicara yang dapat dianggap merendahkan profesi wartawan seperti yang sempat diungkap oleh Juru Bicara Partai Aceh Fachrul Rozi beberapa waktu lalu yang meminta wartawan jangan cengeng dan menjadi tukang minta-minta.
Meskipun demikian maraknya kasus kekerasan terhadap jurnalis di Aceh, belum satupun kebijakan Pemerintahan Aceh yang menjamin perlindungan terhadap profesi jurnalis sebagai pengumpul dan pewarta berita. Pemerintahan Aceh seolah tak bergeming dengan situasi tersebut dan berdiri di menara gading dengan menganggap wartawan bukan merupakan sahabat yang diperlukan sebagai pewarta kebijakan publik maupun transparansi pemerintahan Aceh. Semoga kejadian kekerasan ini adalah yang terakhir, dan Pemerintahan Aceh segera melakukan langkah-langkah perlindungan terhadap profesi wartawan.

2.      Kawal Proses Hukum Penganiayaan Wartawan oleh Aparat

            Kecaman terhadap tindakan oknum TNI anggota Detasemen Kavaleri Kodam 16 Pattimura, Maluku, yang melakukan pemukulan terhadap wartawan dan menghambat tugas jurnalistik terus meluas. Kali ini Aliansi Jurnalis Independen Solo mengeluarkan siaran pers resmi yang menyuarakan pernyataan sikapnya. Dalam siaran persnya, AJI Solo mendesak oknum TNI yang menganiaya Rahmat Rahman Patty, kontributor Kompas.com, diproses secara hukum dengan mengacu pada UU Pers Nomor 44 Tahun 1999.
            Danang Nur Ihsan sebagai Ketua AJI Solo menegaskan bahwa UU Pers harus menjadi acuan utama untuk mengusut kasus yang menimpa Rahmat. Dalam siaran pers tersebut juga diungkapkan kasus-kasus kekerasan oleh aparat TNI yang pernah terjadi di Karanganyar, Jawa Tengah, pada tahun 2010. Saat itu, salah satu reporter surat kabar lokal, Solopos, dianiaya oleh mantan Dandim Karanganyar, Lilik Sutikna. Kasus tersebut menjerat mantan Dandim yang kemudian diproses hingga Pengadilan Tinggi Militer di Yogyakarta, dan mendapat vonis empat bulan penjara.
AJI Solo berharap kasus tersebut bisa menjadi acuan dalam penyelesaian kasus yang menimpa Rahmat. Seperti diberitakan sebelumnya, Rahmat dihajar oleh Serka Abdullah, anggota Detasemen Kaveleri Kodam XVI Pattimura, sementara kamera milik korban dibanting anggota TNI lainnya. Penganiayaan terjadi ketika Rahmat dan jurnalis lainnya sedang mengambil gambar pengejaran pemukulan seorang anak. Anggota TNI tidak terima apabila peristiwa itu diabadikan jurnalis. Oknum TNI pun meminta dengan paksa korban untuk menghapus foto peliputan, bahkan merusak kamera.

3.      Pengusutan Kasus Penganiayaan Wartawan di Kompleks Corner Kabur

Komitmen Kapolresta Manado, Kombes Pol Amran Ampulembang, untuk mengusut tuntas kasus penganiayaan yang menimpa 3 wartawan di kompleks Corner Club kawasan Bahu Mall Manado,  media oktober lalu kembali dipertanyakan.  Pengusutan kasus kekerasan yang ditengarai menyeret oknum aparat polisi, semakin kabur. Terduga pelaku, HM alias Hesly alias Sky telah dilepas.
Sejumlah oknum polisi yang diduga ikut melakukan pengeroyokkan,  belum tersentuh. Padahal, Ampulembang sendiri,  telah mengakui indikasi adanya keterlibatan anggota dalam kasus kekerasan terhadap 3 pekerja pers itu. Malah Propam Polda Sulut, dikabarkan telah memeriksa sejumlah anggota yang disinyalir terlibat. Tapi pengusutan kasus yang menuai keprihatinan sekaligus kecaman dari berbagai elemen warga Sulut itu, kian terkubur. Nada sumbang pun mulai dialamatkan kepada korps berbaju cokelat itu. “Proses penyelidikan terhadap kasus penganiayaan   terhadap rekan rekan wartawan di halaman parkir Corner sudah hampir sebulan. Namun belum ada perkembangan yang signifikan. Kami minta Polresta Manado, untuk lebih mengseriusi penanganan kasus ini,” lugas Ketua Aji Manado, Yoseph Ikanubun. “Kami minta Kapoltabes membuktikan komitmennya untuk mengusut kasus ini hingga tuntas. Jangan lindungi anggota kalau memang terbukti terlibat. Hukum harus ditegakkan,” tegas salah satu redaktur senior di Harian Metro Manado itu seraya menegaskan AJI Manado akan terus mengawal proses pengusutan kasus penganiyaan terhadap pekerja Pers tersebut.
Kapoltabes  Manado melalui, Kasat reskrim Kompol Nanang Nugraha, ketika dikonfirmasi kemarin, membantah bila pihaknya tidak menyeriusi kasus penganiayaan terhadap 3 wartawan di halaman parkir Corner Café. Ia mengklaim, proses penyelidikan masih dalam proses pendalaman. “Sedang kita dalami,” katanya. Soal dilepasnya HM alias Sky, Nanang mengaku belum memiliki bukti kuat untuk melakukan penahanan. “Dari hasil perkembangan penyidikan sementara  yang bersangkutan (Sky,red) belum terbukti melakukan pemukulan,” ujarnya lagi. Pun demikian Nanang, berjanji akan mengusut kasus penganiayaan itu sampai tuntas tanpa pilih kasih. “Bila dalam pengembangan penyelidikan sky terbukti  lakukan penganiayaan, tentu kami akan langsung melakukan penahanan. Begitupula jika ada anggota yang terbukti terlibat. Saya tidak pandang bulu,  walaupun dia anggota atau siapapun yang terbukti terlibat pasti akan kita tangkap dan proses,” janjinya lagi.
Kapolda Sulut, Brigjen Pol Dicky Atotoy ketika dikonfirmasi , usai Paripurna penetapan APBD 2013 di kantor DPRD Sulut,  menyatakan akan segera mengkoordinasikan persoalan itu dengan Polresta Manado. Atotoy mengaku belum mengetahui, jika terduga tersangka HM alias Sky telah dilepaskan oleh Polresta Manado. “Akan segera saya koordinasikan dengan Polresta Manado,” singkatnya.
Diketahui dalam aksi solidaritas yang dilakukan Pers Sulut di Mapolresta Manado,  Kapolresta Kombes Pol Amran Ampulembang sempat menyatakan telah ada anggota yang diperiksa penyidik. Ia pun berjanji mengusut tuntas kasus penganiayaan yang menimpa Risky Pogaga  wartawan Media Sulut, Hendra Lumanauw wartawan Koran Manado dan Bryan Sondakh, wartawan On line di kompleks Corner Café  25 Oktober 2012 lalu. Sama hanya dengan Polda Sulut. Kapolda melalui Kabid Humas, AKBD Denny Adare pernah berjanji mengusut kasus kekerasan yang dialami 3  kuli tinta wartawan tersebut.

4.      Jurnalis Klaten Kecam Penganiayaan Wartawan di Riau


Klaten – Puluhan wartawan dari sejumlah media massa baik cetak, online dan elektronik yang bertugas di wilayah Klaten, Rabu (17/10) pagi  berunjukrasa di Tugu Adipura, Klaten. Mereka mengecam tindak kekerasan yang dilakukan oleh oknum TNI AU terhadap wartawan, di Riau.
  Aksi solidaritas jurnalis Klaten ini dimulai pukul 09.00 WIB dengan berjalan kaki dari depan Kantor Humas Pemkab Klaten menuju      Tugu Adipura. Dalam aksinya itu, para pekerja media juga membawa sejumlah poster yang bertuliskan kecaman kepada oknum TNI AU. Para wartawan juga menyajikan aksi teatrikal.
            Seperti diberitakan di berbagai media, tindak penganiayaan oleh oknum TNI dialami oleh beberapa wartawan yang tengah meliput jatuhnya pesawat Hawk 200 di Riau pada Selasa (16/10) pagi. “Tindak penganiayaan itu tidak pantas dilakukan dan seharusnya bisa dihindari,” ujar Koordinator Aksi, Khodik Duhri.
            Menurut Duhri, sesuai dengan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan kerja wartawan yang sedang mencari berita ancaman pidananya 2 tahun dan denda Rp500 juta.
            Dalam aksinya itu, solidaritas Jurnalis Klaten menyampaikan beberapa pernyataan sikap, di antaranya:
1. Kami mengecam keras tindakan represif berupa penganiayaan, pemukulan dan perampasan kamera video dan kamera foto yang dilakukan sejumlah anggota TNI AU di lapangan terhadap sejumlah wartawan, baik media cetak, online, radio dan televisi yang sedang bertugas mendapatkan informasi dan gambar di sekitar lokasi kejadian.
2. Tindak kekerasan tersebut jelas merupakan perbuatan melawan hukum yang bersifat pidana, sehingga terhadap para tersangka pelakunya harus mendapatkan hukuman setimpal. Hukuman dimaksud tak boleh hanya bersifat internal berupa sanksi disiplin/administratif di kesatuan dan peradilan koneksitas, namun juga harus diproses di peradilan umum secara terbuka.
3. Upaya para aparat TNI AU yang menutup akses informasi dan menghalang-halangi tugas wartawan untuk mendapatkan informasi demi kepentingan publik bisa pula dikenai sanksi pidana karena bertentangan dengan kebebasan pers sebagaimana diatur dalam UU No 40/1999 Pasal 4 Ayat 2. Pelaku penganiayaan bisa diancam hukuman dua tahun penjara dan denda Rp 500 juta.
4. Tragedi dan ancaman terhadap kebebasan pers ini makin menegaskan bahwa penghormatan terhadap profesi jurnalis masih rendah dan budaya kekerasan oleh aparat negara/militer terhadap kehidupan sipil masih menjadi masalah serius yang mendesak diselesaikan dan dicarikan solusinya.
5. Mendesak pada pimpinan TNI agar menggiatkan lagi pendidikan tentang demokrasi, kebebasan pers, dan hak asasi manusia di lingkungan anggotanya, selain mengukuhkan prosedur operasional tetap dalam menghadapi pers dan masyarakat sipil guna mencegah terjadinya pelanggaran serupa.
Sumber : VIVA News Februari 2013

5.      Kekerasan Yang Menimpa Julia Merupakan Bentuk Intimidasi Secara Fisik Terhadap Jurnalis

Kasus kekerasan terhadap wartawan terus mendapat kecaman dari berbagai organisasi wartawan. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar menyayangkan peristiwa penganiayaan yang dialami Odeo Data Julia Vanduk, wartawan Sinar Harapan, saat menjalankan tugas jurnalistiknya.
Ketua AJI Makassar, Andi Fadli mengatakan, kekerasan yang menimpa Julia merupakan bentuk intimidasi secara fisik terhadap jurnalis. Ironisnya, penganiayaan dilakukan saat sejumlah jurnalis menunggu kedatangan calon wakil presiden Budiono yang akan berkampanye di Papua. "Ini fatal, karena teman-teman jurnalis di Papua termasuk Julia sedang melakukan tugas jurnalistiknya. Seharusnya ini tidak terjadi," kata Fadli kepada wartawan, sore tadi. Untuk itu, AJI Makassar mendesak kepolisian untuk menindak pelaku kekerasan tersebut dengan UU Pers serta KUHP. Alasannya, oknum kader Partai Demokrat melakukan kekerasan terhadap wartawan saat bertugas, sekaligus bisa dijerat dengan pidana karena melakukan penganiayaan. AJI Makassar juga menyayangkan terulangnya kekerasan terhadap wartawan di Indonesia. Menurut Fadli, kejadian itu merupakan pertanda bahwa masyarakat tidak memahami kerja-kerja jurnalis.
            Untuk itu pada poin terakhir, AJI Makassar sekali lagi meminta kepada masyarakat untuk menghargai jurnalis ketika meliput dan menghormati kebebasan pers. "Ini adalah upaya mendorong terwujudnya kerja jurnalis agar bisa menyajikan informasi yang baik, berimbang dan bebas dari intimidasi siapapun. Jurnalis bertugas mencari berita, bukan membawa petaka," tuturnya lagi. Pernyataan sikap tersebut langsung disampaikan ke Dewan Pers melalui Andullah Alamudi yang turut hadir dalam jumpa pers tersebut. Alamudi, yang saat ini menjabat sebagai ketua Komisi Pengaduan Masyarakat Dewan Pers, berjanji akan menyampaikan pengaduan itu ke rapat internal Dewan Pers di Jakarta.

            Menanggapi soal kekerasan yang menimpa Julia, Ia menegaskan, Dewan Pers ikut mengecam terjadinya kekerasan tersebut. Menurutnya, siapapun pelakunya, meski ia adalah dari tim pemenangan cawapres, harus ditindaki sampai tuntas.
"Siapapun yang melakukan kekerasan itu tidak bisa dibenarkan, dan harus diprotes karena itu melanggar pasal 18 UU Pers yakni menghalang-halangi wartawan dalam menjalankan tugas jurnalisnya," kata Alamudi dihadapan wartawan. Sementara, berdasarkan catatan AJI Makassar, kasus Julia merupakan kasus kedua yang menimbulkan gesekan tidak langsung antara wartawan dengan Boediono.

            Kasus pertama saat reporter SCTV Carlos Pardede ingin mengkonfirmasi Boediono, sehari setelah ia terpilih menjadi calon wakil presiden SBY. Saat itu, wartawan SCTV tersebut dipukul hinga berdarah oleh satpam BI, kantor Boediono


 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar